"Kami segenap Keluarga Callington mendukung penuh semua perkataan dari Frans Priyambada."
Rihana Calligton—Bunda dari El, beliau mencengkeram lenganku, hadir dari sisi kanan, menguatkan argumen. Rumor segera berhamburan. Para tamu tak bisa menyembunyikan ketertarikan mereka, sedang Juliana berdiri kokoh, matanya melotot hingga hampir keluar, sinar benci tampak jelas.
"Amelie Callington. Bunda harap kau mendengarkan perkataan pria yang menyayangimu. Kemarilah." Rihana memberikan perintah. Aku menyeringai, mengulurkan tangan pada El, wanita itu memandangiku dari atas dan bawah, samar-samar kudapat melihat tangannya yang gemetar, tatapannya menusuk, berang.
"Menyayangi saya?" Aku mengernyit, menarik uluran tanganku. Kini El berjalan menuju tengah aula, semua mata memandangnya, segera saja dia menjadi pusat perhatian. Dia mengepalkan tangannya yang gemetar, membawanya ke depan tubuh, kepalanya menengadah menatapku, Rihana, bahkan semua hadirin pesta.
"Apa yang Anda maksud menyanyangi saya sementara dia meninggalkan saya pada malam kami bercinta?"
Singkat, padat dan jelas. Segera setelah kata yang melesat layaknya anak panah mengenai sasaran, semua suara berhamburan, bisik-bisik semakin riuh. Wajahku memanas, merah, jengah dengan penuturan vulgar yang El lontarkan. Aku hendak menyela, tetapi El lebih dulu angkat suara. "Tuan Priyambada meninggalkan saya pada malam itu, hendak bersama tunangannya Keysa. Ingatan itu masih membekas di benak saya."
Tidak, tidak, tidak! Bukan begini! Aku berjalan menuju El, tetapi Bryan menghalangi, lantas meremas genggaman tangan El, mencium kening wanitaku. "Lanjutkan sayang," katanya lembut. El melirik sekilas, dia menelan saliva, menarik napas dalam-dalam, pandangannya lebih gelap dari pertemuan terakhir kami, tangannya yang gemetar seperti ngengat terarah padaku. "Anda tidak lebih buruk dari bajingan. Bajingan bangsat."
Kupikir El akan membisu hingga akhir. Namun, kali ini lebih buruk dari pemikiranku, semua orang memandang simpati pada El, sedang mereka mendangku panas—menyalahkanku. Aku tak dapat menyembunyikan kecemasanku, aku bertepuk tangan, tersenyum diplomatis. Menyembunyikan kegugupanku. "Tapi, kau salah. Kau tak membertahuku pasal putriku—Juliana. Apa kau akan menganggap itu bukan kesalahan? Aku pantas tahu pasal putriku."
"Dia benar, bukankah Nyonya Amelie seharusnya memberitahu perkara putri mereka"
"Mengapa dia hanya menghilang?"
"Astaga, pertemuan ini sangat panas." Mereka mengibaskan tangan, melepas rasa panas yang membakar ruangan. Aku tersenyum penuh kemenangan, keadaan kembali berbalik padaku. Bukan ungkapan kekalahan yang kudapatkan yang ada Amelie semakin berani. Kini dia melangkah mendekatiku, telunjuknya terarah tepat di depan dadaku.
"Saya pikir Anda masih punya hati," katanya hampir seperti berbisik. Lantas setelahnya dia menilik ke arahku, pandangan wanita yang ingin kumiliki ini menggelap—bencikah dia padaku? Sedalam manakah kebencian itu? Aku bertanya sendiri dalam benakku. Apa memang seburuk itu kesalahanku? "Aku tidak mengerti apa maksudmu?"
El menyorotku, iris biru yang selalu bersinar penuh cinta, sayang dan kasih kini lenyap. Semuanya dipenuhi rasa sesal, kebencian juga amarah. "Saya membenci Anda, begitu juga dengan putri saya." Suaranya semakin kecil, aku tak dapat mendengar lebih jauh, karena selanjutnya dia turun dari panggung dan merentangkan tangan.
"Saya bukan lagi Amelie Callington, saya Amelie Espargaro. Dengan ini saya menyatakan bahwa Juliana Zehra adalah bagian dari Keluarga Espargaro terlepas dengan hubungan darah yang dimiliki putriku. Dia adalah Juliana Zehra Espargaro penerus dari perusahaan Espargaro."
Mataku membeliak, tak kusangka Amelie akan menentang Juliana sebagai darah dagingku sejauh ini. Tanganku terkepal kuat, emosiku tersulut panas sedang aku berusaha menetralkan ekspresiku. "Akan tetapi ini tak dapat menyangkal hubungan darah kami," tukasku. El berbalik ke arahku membulatkan tekad. Rambutnya yang terurai kini menghalangiku untuk menatapnya.
"Apa yang Anda harapkan? Anda telah meninggalkan saya, wajar jika saya membawa putri saya pergi dari ayah biologis yang bahkan meninggalkan ibunya, Tidakkah apa yang saya katakan terdengar masuk akal?" Rambut coklat El terjulur, berhamburan menutupi pandangan. Lantas Wanita itu menengadah, menyingkap rambut yang berantakan tersenyum tipis, kebencian menguar kuat. "Saya tak akan pernah memberikan putri saya pada Anda. Sampai kapan pun."
El sekuat balok es tebal, dingin tak tersentuh. Aku dapat melihat dia takut, ciut, tetapi dia tak merendahkan diri. Dia berdiri tegak melawan kami, tak pernah kupikir bagaimana El bisa melawan orang yang dicintainya, keluarganya, bahkan para hadirin. "Saya rasa cukup omong kosong ini berakhir." Bryan berjalan menuju El, Juliana berdiri di sampingnya, melirikku sinis.
"Terima kasih atas undangan Anda," ujar Bryan. Pria itu berwarna rambut seiras degan El—berwarna coklat dengan jenggot tipis yang menyebar di dagu. Namun, dia memiliki iris mata hijau yang tajam di satu sisi lembut—yang hanya dia tunjukan pada El dan putriku. "Tapi, saya tidak dapat mentolerir perbuatan yang Anda lakukan terhadap istri dan putri saya."
Air wajah Bryan tegas, kokoh dan kuat. Dia membawa El dalam pelukannya juga Juliana ditarik lebih dekat. Entah bagaiamana aku iri dengan dia yang begitu mudah menarik orang berharga bagiku. Aku iri dengannya yang mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku. "Saya akan membuat perhitungan," ungkapnya. Tanpa menunggu respon Bryan membawa El dan Juliana pergi dari aula.
Mulutku mengaga, aku diam di tempat, mengembuskan napas gusar. Tidak, tidak bisa begini. Aku tak mau berakhir begini, Kukatakan itu pada diriku, kupikir aku punya kesempatan lain. Belum sempat aku menahan El maupun Juliana akhirnya sesuatu hadir, lebih keras, kasar dan tak terduga.
"Kau memang putriku, tapi kau tetaplah jalang yang tidur dengan pria tanpa ikatan. Bahkan kau dengan mudah tidur dengan pria lain. Kau tak lebih seperti pelacur."
Kini ruangan sepenuhnya hening, senyap. Sebagian tamu menutup mulut, aku melirik—tepat mataku bertemu dengan Rihana, Nyonya Callington—Bunda El. Aku bergegas bergerak ke arahnya, berharap dia menutup mulut, tetapi tidak. Dia tetap mengejek terang-terangan. Emosinya tersulut dahsyat. "Aku menyesal melahirkan putri sepertimu." Perkataan itu singkat, toh efeknya luar biasa.
El berjalan ke arah kami. Dia melewati pelayan yang membwa nampan dengan segelas anggur merah di atasnya, dia mengambil benda itu, menentengnya ke arah kami. Matanya kini sungguh kosong, bahkan orang yang melihatnya saja bisa ikut depresi, tertekan dan letih. Tak ada yang berkomentar, bahkan diriku tak sempat untuk bernapas.
El diam membisu, toh diamnya lebih berarti dari kata-kata. Segera saja segelas wine ditumpahkan ke kepala Rihana. Wanita tua itu ternganga, kepalanya basah kuyup sedang matanya bersitatap dengan sang putri. "Amelie Callington!" Kali ini Tuan Callington maju, pria yang selama ini diam tak berkutik kini hadir membantu istrinya, dia bergerak ke arah El hendak menampar, tetapi tak dapat diprediksi gerakan El lebih cepat, tangkas membuat semua orang berjengit.
Prang!
Gelas wine dihantam ke kepala Tuan Callington. Gelas yang pecah berhamburan, beling berserakan di lantai pualam, darah pun ikut menetes berjatuhan. El mengangkat kepala, kali ini, hanya pergerakan kecil, tetapi dapat memberikan efek besar.
El tersenyum.
Bersambung ....
23 Mei 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way I Hate You
RomanceSetelah 15 tahun menghilang, Amelie- pelukis yang pergi tanpa pesan kembali hadir menggemparkan media massa. Dia membawa seorang putri yang memiliki wajah persis seperti Fahri- pengusaha lajang yang tengah berada di puncak kesuksesan. Amelie tak be...