Amelie; today I almost forgot

35 4 1
                                    

15 tahun kemudian.

Aku menatap ombak yang menghantam karang, angin hangat yang berembus memiliki aroma garam khas, meniup-niup rambutku. Biru-biru yang menghias sepanjang jalur, biru laut, ombak, langit yang membentang.

Melambangkan kebebasan, walau sejujurnya aku tak pernah merasakan hal serupa. Mungkin tidak akan pernah, ya, benar.

"Mom!"

"Ya? Mom pikir kau sibuk kelas hari ini."

"Cih, memang hidupku hanya kelas-kelas sialan."

"Bukannya benar begitu?"

"Itu tidak lucu, Mom!"

Aku tertawa, gigiku berderet rapi tersenyum lebar. Aku masih menggenggam kuas, membubuhkan cat pada kanvas, melukis hasil sketsa yang kubuat sepanjang hari. Untuk sebentar aku masih fokus, sebelum aku mendesah, menatap ke samping, menautkan dahi. "Ada apa?"

Gadis dengan rambut hitam pendek, poni menutupi dahi, mata seperti bulan sabit kembali terkekeh. Dia terlihat seperti remaja manis dari negeri sakura. Menopang wajah menatap lukisanku, yang berbentuk potret orang, masih belum jelas karena baru berbentuk sketsa. "Itu ... sebentar lagi ulang tahunku yang kelima belas. Mom tahu, kita akan pergi dari pulau. Aku hanya ingin bertanya, apakah kita benar-benar harus pergi?"

Aku meletakkan alat lukis, menyentuh pipinya yang lembut, putih bening, seperti malaikat.

"Tentu saja. Kita sudah membahas ini ribuan kali."

"Aku mengerti, hanya saja ...."

"Kenapa? Ada yang mengganggumu?"

Aku benci melihat putriku yang kusayangi terlihat gelisah, tidak senang atau kesal. Aku selalu ingin melihatnya bahagia. Jadi aku menggenggam tangannya, mata kami saling bertemu kemudian membuat koneksi tidak terlihat, dia hanya menggeleng.

"Dad akan datang kan ke ulang tahunku nanti?"

Aku tertawa. Lihatlah anak manja ini, dia mengerucutkan bibir, mendelik kesal. Tahu apa yang kupikirkan, dia tak suka disebut anak manja. "Ya, ya, Dad pasti akan datang. Kau tahu betul, Dad tidak akan melewatkan hari spesialmu."

"Lalu dengan sekolah normal?"

"Kau tinggal masuk, itu tak akan sulit untukmu. Kamu bahkan sudah mempelajari pelajaran di sana saat umur sepuluh."

"Dan Mom melanjutkan study kuliah?"

"Benar sekali, kuliah seni. Anggap saja imbang, kita keluar sama-sama untuk belajar bersosialisasi."

Juliana Zehra. Itu adalah nama putriku yang cantik, manis. Aku bisa melihat dia tumbuh dengan baik. Menjadi anak cerdas dan penuh kasih. Angin lagi-lagi berhembus, hampir musim kemarau jadi udaranya kering, rambut hitam An yang bertebaran diterpa angin kurapikan. Mata arangnya menatapku, aku mengelus kepalanya lembut. Putriku yang berharga. "Mom sangat menyayangimu."

"Aku tahu." An menelungkupkan wajahnya di pangkuanku. Dia terduduk di lantai studio, kepalanya di pahaku, juga bagaimana seperti anak kucing bergerak-gerak kecil, imut. Aku cukup menyukai sikap kekanakannya ini, walau sudah cukup dewasa tak ada salahnya bermanja-manja.

Aku memikirkan bagaimana aku bisa berakhir di sini. Setelah mengetahui kehamilanku lima belas tahun lalu. Aku akhirnya memutuskan mengambil tantangan melukis dari seorang pria tua, pengusaha kaya raya misterius yang menawarkan imbalan apa pun. Asal aku melukis dirinya, menggambarkan dirinya sebagai potret diri, seperti monalisa, tetapi dalam sepuluh variasi.

Membuat sepuluh lukisan dirinya dalam sepuluh hari.

Itu tantangan gila.

Namun, aku berhasil. Mungkin itu salah satunya kenapa aku disebut pelukis jenius. Hingga akhirnya dia memberikan pulau pribadi ketika aku meminta pergi ke tempat yang jauh, tak bisa ditemukan siapapun. Begitupula berupa fasilitas dan biaya hidup. Sejujurnya pada akhir perjanjian itu, dia memanfaatkanku, akan tetapi itu bukan masalah besar.

Manusia memang hadir untuk memanfaatkan manusia lain bukan?

"Mom, kapan Dad pulang?"

Aku mulai tersadar dari lamunanku, kemudian tersenyum lembut aku mengangkat bahu. Pria itu cukup sibuk mengurusi bisnis. "Entahlah, aku pikir Dad sangat sibuk. Lagipula besok kita akan segera pergi keluar pulau. Jadi istirahatlah, kau juga sudah menantikan ini sejak lama bukan?"

An menatapku lamat-lamat, seolah ingin menerawang pikiranku tapi tak bisa. Akhirnya dia hanya mengangguk, lantas segera bangkit. Dia mengecup pipiku seperti bocah kecil, kemudian keluar dari studio. Aku menyenderkan tubuhku pada kursi, kembali menatap keluar jendela. Suara ombak menghantam karang terdengar jelas, membuat cemasku berkurang.

Selama lima belas tahun ini aku benar-benar pergi dari keluargaku, kerabat, teman, bahkan galeri yang kukembangkan tanpa pesan. Tanpa kabar. Aku benar-benar menghilang selama ini dan kini memutuskan kembali melanjutkan studi kuliah yang kuimpikan. Bukan sekedar menghilang, sejujurnya aku lari dari kenyataan.

Semenjak kejadian itu, aku memilih pilihan ekstrim untuk membesarkan An sendirian di tempat terpencil seperti pulau pribadi. Gadis itu tidak pernah keluar dari pulau semenjak kelahirannya. Aku tahu ini tak sehat, tapi di sisi lain pikiranku beranggapan ini semua untuk melatih mental An dan melindunginya.

Melindunginya dari mereka. Dari manusia. Dari dunia yang kejam.

Pada akhirnya ini semua tidak sepenuhnya benar.

"Aku lelah ...."

Sejujurnya bukan An yang harus memiliki mental yang kuat. Akulah satu-satunya yang membutuhkan itu. Setidaknya mental sehat, seandainya jika aku punya. Aku tergelak, itu tidak lucu tapi aku tetap tertawa. Kali ini pandanganku beralih ke salah satu lukisan yang kuciptakan, potret kami bertiga, aku, An, dan Bryan.

Benar. Orang baru yang menjadi suamiku, putra dari pria tua kaya raya. Aku sejujurnya masih skeptis karena pada awalnya kita menikah karena kontrak, bagaimana pria tua itu senang mengendalikan kehidupan putranya, juga Bryan yang mulai mengajakku berteman.

Keluarga orang kaya yang rumit.

Namun, satu-satunya yang membantuku selama ini hanyalah Bryan. Putra dari pemberi pulau ini, kami mulai menghabiskan waktu bersama ketika kelahiran An. Dan menakjubkannya pria itu dapat berperan sebagai pengganti sosok ayah bagi An. Dad, seperti yang An sebutkan. Aku bahkan menganggap dia lebih manja pada Dad dibanding dengan Mom-nya sendiri.

Mataku terpejam dengan dada yang mulai sesak, mengambil botol kecil dari laci aku meminum beberapa butir obat. Perlahan tanganku terkepal, aku bahkan tak bisa mengendalikan diriku pada tahap tertentu. Akan tetapi, setidaknya aku sudah melakukannya dengan baik, menjadi ibu dan istri yang benar.

Jika semua kembali berjalan pada arah yang benar. Aku berjanji, aku bersumpah pada diriku sendiri, aku boleh mati dengan tenang. Menuruti isi kepala yang terus berisik, delusi gila, yang tak pernah hilang dari kepala. Tapi, untuk sekarang tidak boleh, An juga Bryan masih membutuhkanku, masa depan yang kuimpikan tergantung di depan mata.

Masih belum waktunya. Tahanlah sedikit lagi. Napasku yang memberat, berseru kencang ditambah keringat dingin yang membasahi tubuh perlahan lesap, luntur dan kini aku mulai bisa bernapas normal. Kegugupanku memikirkan masa depan sungguh mencekik, rasanya menyakitkan, aku tak bisa bergerak.

Bersambung....

7 Mei 2024

The Way I Hate YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang