"Sayang."
Aku masih setengah tidur ketika merasakan seseorang memelukku dari belakang, aku berbalik dan menemukan Bryan di sana. Aku menyentuh tangannya yang besar, kepalanya bergerak masuk ke ceruk leherku. Aku menyalakan lampu tidur, menatap wajahnya lebih dekat.
"Ada apa ...?" bisikku meraup wajahnya, aku bisa merasakan tangan yang bergerak menggenggam tanganku erat. Aku bisa melihat noda merah yang ikut mengotori tanganku, bau anyir tercium pekat, aku tidak terganggu dengan itu. "Bryan ...."
"Aku gagal. Maafkan aku." Dia memelukku semakin erat, aku bisa merasakan napasnya yang berembus di leherku. Aku tak dapat menyembunyikan kekecewaan yang tersirat, walau begitu aku membalas pelukannya. Aku mengelus kepalanya lembut. "Tidak apa-apa. Kau sudah berusaha ...," gumamku.
Bryan kali ini mengangkat wajah. Mata kami bertemu dan aku bisa merasakan kecupan singkat di bibirku. "Aku tahu kau kecewa." Aku mendesah, percuma berpura-pura di hadapan Bryan, dia tahu betul apa yang kupikirkan. Seolah membaca buku terbuka, dia mengetahui tentangku dengan sangat baik. "Aku tak apa."
Bryan mendengkus, kali ini membawa wajahku untuk menatap matanya. "Kau tak takut padaku?" Aku tersenyum, walau itu hanya senyum hambar setidaknya aku berusaha. Memang ketika Bryan dalam suasana hati buruk dia bisa menyeramkan, tetapi dia tak pernah menyakitiku dan An, itu lebih dari cukup. Aku menggeleng, berkata jujur. "Tentu, aku tak pernah takut. Aku istrimu."
Aku bisa melihat keraguan di mata suamiku. Dia menatap wajahku lamat-lamat, berbisik dengan suara rendah. "Jangan pergi ...."
"Aku tak pergi."
"Kau akan, aku tahu." Kepekaan Bryan sungguh mengerikan, aku tak tahu apa yang terjadi. Namun, melihat reaksinya berarti itu bukan berita baik. "Jadi apa yang terjadi?" terkaku dengan nada melembut, kembali membawa wajahnya menatapku. Mata hijaunya laksana zamrud, tetapi aku dapat melihat sinar di sana, awan kelabu menutupinya, muram, begitu letih dan penat.
Aku tak tega. "Istirahatlah." Aku hendak bangkit, tetapi Bryan menahanku, menggeleng dengan wajah memelas. "Jangan pergi. Tetap di sisiku," pintanya menarikku untuk memeluknya, terhempas ke atas kasur. Aku menatap matanya yang terus mengamatiku, aku membelai pipinya, bergerak lembut bagai kapas, sehalus sutra.
"Mereka menipu kita, An tidak ada di sana." Akhirnya dia bicara, matanya terpejam menikmati belaian yang kutorehkan. Aku memang ingin tahu perkembangan kasus penculikan An. Aku sungguh tak ingin dia terluka barang segores. "Orang Lekan tak terlibat, ada yang berkhianat di perusahaan itu. Entah musuh ayah atau lawan bisnis kita. Banyak yang bisa dicurigai."
Aku berhenti membelai wajah Bryan, merasakan tanganku yang berhenti membelainya dia membuka mata lantas mendesah. "Sayang." Kekhawatiran menerpaku, apa yang bisa mereka lakukan pada An membuatku ngeri. Entah bagaimana kondisi An, mau hidup atau mati. Semua kemungkinan itu membuatku goyah.
"Sayang." Bryan menggoyangkan tubuhku, aku terhenyak dari pikiranku menatap matanya. Dia memasang wajah khawatir, mendekapku erat-erat, membenamkan wajahnya di leherku. "Kau tak boleh ke mana-mana. Kau mengerti?" Aku terdiam, tidak menjawab.
Dia semakin gelisah. "Amelie, jawab aku."
"Aku mengerti." Lebih mudah untuk menyetujui apa yang dikatakan Bryan. Dia kembali tenang, aku bisa merasakan tagannya yang mendekapku tak membiarkan aku lolos ke mana pun. Aku ikut terpejam, perasaanku semakin buruk, tanpa An aku hanyalah kekosongan. Putriku adalah satu-satunya alasan aku hidup hingga kini. Jika dia tak ada, apa tujuanku hidup?
Aku bisa merasakan napas Bryan yang teratur, dia mulai tertidur, bagai anak kucing mendengkur lembut. Aku terjaga tak bisa tidur, akhir-akhir ini kondisiku semakin buruk. Kesehatanku menurun drastis, aku sering pingsan tanpa peringatan, kemudian terjaga tak bisa memejamkan mata. Bryan bilang aku terlihat buruk, sama buruknya ketika masa kanak-kanak An.
Aku melepas pelukan Bryan, perlahan terduduk menatap langit yang sudah gelap. Aku tak dapat tertidur. Bagaimana keadaan An? Apa dia baik-baik saja? Aku harus segera menemukannya. Tampaknya Bryan kelelahan, dia tertidur pulas, aku diam-diam turun dari atas ranjang, mengendap-endap keluar kamar.
Pikiranku kalut, kecemasan yang menyesakkan menekanku, mendorongku menjadi lebih gila. Emosiku semakin tak stabil. "Kau lebih baik mati, kau ibu yang buruk." Aku menggeleng, tidak, aku bukan ibu yang buruk. Itu hanya pikiran negatif, bisikan sesat, halusinasi. Aku berjalan menuruni anak tangga, pandanganku menjadi gelap. Bisikan-bisikan semakin nyaring terdengar, berdesakan mengerumuni isi kepala. "Ayo, lompat, kau tidak berguna, tak pantas dicintai, kau hanya beban."
"Berhenti, berhenti, cukup." Aku berbicara sendiri, meyakinkan diri, itu hanyalah ilusi. Aku tak seperti yang mereka katakan. Akan tetapi ketika kakiku melangkah hendak menuruni anak tangga, kakiku terpeleset, seolah tahu aku dalam masa-masa kritis aku didorong untuk jatuh. Anehnya aku merasa lega ketika mengetahui aku akan jatuh, terkilir, patah tulang, barangkali bisa mati, kepalaku bocor. Maka semua ini bisa berakhir.
"El!"
Aku sudah pasrah akan terjatuh, hingga suara yang amat familier memekik khawatir. Aku terjatuh, tidak di lantai, tetapi di tubuh seseorang. Aku membuka mata, tubuhku menimpa penyelamatku, hingga akhirnya mata kami bertemu. "Fahri?" Aku segera saja bangkit, mundur beberapa langkah menatap gusar.
"Kau baik-baik saja?" Dia mendekatiku, melihat aku yang terus mundur lantas dia berhenti. Dia mendesah, menatap hangat dengan mata bulan sabitnya, sesuatu yang pernah kuimpi-impikan. Aku membuang wajah, memeluk diriku sendiri. "Aku baik."
"Tapi kau bicara sendiri."
"Untuk apa kau peduli?"
Aku tak tahu kenapa dia di sini. Apakah Bryan sengaja membawanya? Bryan bilang dia termasuk komplotan penculik. Mengingat hal itu aku menyorot berang, kepalaku terangkat hingga mata kami bertemu. Dia tampak khawatir. "Kau tidak sehat, El. Lebih baik kau beristirahat."
"Kau bahayakan An. Kau mengambil putriku." Aku tidak menggubris perkataannya yang dipenuhi perhatian, kebencianku yang memenangi hatiku, dia sudah lama mati karenanya. Mengajakku menginjak lumpur hitam penuh akan kegelapan, kekosongan, kehampaan.
"Nyonya!" Salah satu penjaga menghampiriku, melihat Fahri berkeliaran dia menyorot penuh peringatan. Dia berdiri di depanku, menghalangi Fahri yang memangkas jarak, dia tampak memasukkan tangan ke dalam saku. "Aku hanya menolong El," belanya.
"Apakah Benar, Nyonya? Tuan tidak mengizinkan Anda untuk bertemu dia secara langsung." Penjaga melirikku, dia tampak ciut, mungkin takut dimarahi Bryan. Aku mengangkat wajah, diam tak menjawab, berbalik menaiki anak tangga. Penjaga menoleh ke arahku dan Fahri bergantian. Sebelum menuntunku masuk kamar, sedang menyolot—memperingati Fahri agar tetap di dalam ruangannya.
Sekali lagi aku berbalik, pandangan kami bertemu. "Aku membencimu." Tanpa suara aku mengatakannya, mulutku bergerak, menyalak berang. Tanganku terkepal, semakin hari kebencianku semakin membara. Sekarang aku sudah lepas dari keluargaku, tetapi tidak dengan Fahri. Aku masih terjebak dalam kegelapan yang selalu memusatkan dirinya, kali ini bukan sebagai sang surya tetapi lubang hitam yang menelan semua rasa dan meninggalkan kebencian.
...
"Kau harus melukis kembali."
Aku menengok ke arah Bryan. Pria itu membawa tanganku dan menggenggamnya, di berlutut dan mencium punggung tangan. Senyumnya lembut dan hangat, aku jadi merasa bersalah semalam meninggalkan dia sendiri. "Aku akan meminta pelayan menyiapkan peralatan lukismu di taman. Kamu dapat melukis pemandangan taman. Bukan ide buruk, 'kan?"
Aku terdiam, aku masih resah. Bryan tahu hal itu, kecemasanku tak akan reda hingga An ditemukan jadi Bryan sengaja membuatku mengalihkan perhatian. "Kulihat kau semakin depresi," katanya meremas tanganku lembut. "Kau butuh penyegaran. Setidaknya lakukan demi diriku, oke?"
Aku tak bisa menolaknya, jadi kuturuti. Aku tersenyum kecil mengecup pipinya. "Baik."
Setelah itu, seperti kata orang-orang, semua sudah tahu ceritanya.
Bersambung ....
20 Juni 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way I Hate You
RomanceSetelah 15 tahun menghilang, Amelie- pelukis yang pergi tanpa pesan kembali hadir menggemparkan media massa. Dia membawa seorang putri yang memiliki wajah persis seperti Fahri- pengusaha lajang yang tengah berada di puncak kesuksesan. Amelie tak be...