"Jadi di mana dia?"
"Dia?"
Aku mendengkus, mengusap wajahku kasar. "Putriku," ujarku tak sabar, "aku tahu kau sudah menculiknya." Aku berdiri di depan Bagas dan anak buahnya, entah mengapa dibanding pengusaha mereka lebih terlihat sebagai tukang pukul—gangster. Setelah menyetujui rencana mereka tempo hari, aku ikut masuk dalam komplotan, aku datang ke tempat yang mereka sebut markas. Baru saja anak buah Bagas menelepon, katanya target sudah berhasil didapatkan.
"Astaga, jangan tegang begitu. Putrimu aman." Bagas tertawa, menepuk-nepuk bahuku sembari tersenyum, berusaha meyakinkan. Aku jengah, sungguh tak percaya dengan perkataannya. Jadi aku kembali mengulangi perkataanku, "Ke mana kau membawanya?"
Senyuman di wajah Bagas menghilang, dia berdehem berjalan menuju kursi, dia menyalakan pemantik dan mulai merokok. "Tepat di tempat rahasia kami ... kau tak perlu risau," jawabnya.
Aku mengerutkan kening, tidak mengerti kenapa Bagas tak memberitahu lokasi Juliana diculik secara gamblang. Aku mulai kesal. "Ya, lokasinya di mana? Aku perlu tahu, aku harus memastikan putriku aman," sanggahku. Aku melirik semua orang dalam ruangan, para tukang pukul sudah siap di belakang Bagas, barangkali jika diperlukan bisa menghajar kapan saja.
"Tenang, kawan." Dia mulai mengembuskan asap rokok, asap itu berembus hingga sampai ke wajahku. Aku mengibaskan tangan, menyingkirkan asap yang datang. "Tepat di kota sebelah, dia ada di salah satu vila di bawah naungan perusahaan Lekan." Aku mendesah, memijat keningku resah. Aku merasa sesuatu yang tak benar, hal yang teramat salah.
"Antar aku ke sana. Aku ingin bertemu putriku." Aku butuh kepastian, dalam hatiku yang terdalam aku menaruh curiga. Tak pernah aku mempercayai seriap perkataan mereka. Yang kuinginkan hanyalah Juliana, putriku tercinta. Aku ingin mendekapnya, membawanya, membuatnya memanggilku Ayah.
Sungguh harapan konyol, tapi tidak ada salahnya bukan?
Bagas sempat terdiam sesaat, aku sudah memikirkan argumen dan sangkalan jika dia menolak. Namun, yang mengejutkan dia mengangguk, bahkan dia melirik ke salah satu tukang pukul untuk menyiapkan kendaraan. Aku masih berdiri di sana, hingga akhirnya mengikuti langkah Bagas yang berjalan keluar. "Mari, kita harus bergegas."
Ketika mobil mulai melaju, perasaanku bergejolak hebat. Rasa antusias, senang, dan cemas melandaku, menerpa diriku dengan berbagai spekulasi. Bagaimana caraku membujuknya agar luluh? Apa dia akan senang dengan kehadiranku? Mungkin aku harus memikirkan kegiatan yang membuat kami dekat, selayaknya ayah dan anak, atau ada cara lain agar kami dekat?
Aku merasa tidak sabar. Aku terus gelisah menatap ke luar jendela, memandang jalanan yang ramai. Seperti kata Bagas, setengah jam berlalu dan kami sampai di vila—tepat di kota sebelah. Vila itu berwarna abu-abu memiliki tiga lntai dengan kolam besar di halaman. Banyak pria bertubuh besar dengan wajah sangar menjaga vila, mereka berjalan mengelilingi tempat itu.
Juliana aman.
Ya, di sini penjagaannya ketat. Aku harap perlakuan mereka baik pada putriku. "Aku harap kalian memperlakukan putriku dengan baik," pintaku sembari melirik sekitar. Bagas di sampingku mengangguk-angguk. "Tentu. Kau tak perlu khawatir. Putrimu aman bersama kami."
Kami berjalan melewati kolam, masuk ke dalam vila, penjaga yang ada menuntun kami menuju Juliana. Aku tak dapat menahan senyum, tanganku mengepal kuat, antusias bukan main. Kami diarahkan menuju lantai dua, hingga sampai di satu kamar. Suara bising terdengar dari kamar, benda jatuh, dobrakkan pintu hingga teriakan menggema.
"Keluarkan aku kalian bajingan gila!"
Tubuhku menegang, mendapat sambutan demikian. Pintu masih ditutup rapat hingga tak ada yang bisa datang. Ah, benar. Ini benar-benar Juliana.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way I Hate You
RomanceSetelah 15 tahun menghilang, Amelie- pelukis yang pergi tanpa pesan kembali hadir menggemparkan media massa. Dia membawa seorang putri yang memiliki wajah persis seperti Fahri- pengusaha lajang yang tengah berada di puncak kesuksesan. Amelie tak be...