"Lyon?" Aku menatap tak percaya, mataku berkedip beberapa kali, segera setelah tersadar aku mengacungkan tangan kananku yang memegang gunting. Aku bersiaga sepenuhnya, hendak menyerang jikalau dia berani melakukan sesuatu.
"Bagaimana kau bisa sampai sini?" Dia tampak tak terganggu dengan diriku yang berlumuran darah dan memegang senjata. Lyon adalah temanku—tidak lebih seperti kenalanku dari sekolah. Dia biasa dengan penampilan berantakan, rambutnya acak-acakan, dia memiliki kantung mata yang terlihat jelas, berpakaian kaos dan celana pendek. "Tidak seharusnya kau di sini," katanya sembari memiringkan kepala.
Tok, tok, tok!
Suara ketukan pintu terdengar, pintu bergetar diiringi seruan dari luar. "Tuan Lyon, apakah Anda melihat seorang gadis?" Lyon meletakkan satu jari di bibir, memintaku agar tetap diam, kuturuti perintahnya berusaha bungkam. Akan tetapi aku masih siaga, tak mengendurkan kewaspadaanku baran sedetik.
"Tidak ... aku tidak melihatnya," jawabnya, "aku di kamar sedari tadi, aku pun mengunci pintu, tidak ada yang bisa masuk."
"Baiklah, terima kasih, Tuan muda."
Suara derap kaki mulai menjauh, aku bernapas lega. Tubuhku merosot jatuh ke lantai. Aku mulai merasakan rasa sakit yang amat di telapak tangan kiriku. Lukanya semakin lebar, aku meringis, menatap darah yang mulai mengering. Lyon yang melihat kondisiku berjongkok, dia meletakkan satu jarinya di daguku, dan mengangkat wajahku untuk menatapnya.
"Jika kau bertindak macam-macam aku tidak akan segan menusukmu." Aku menodongkan gunting berlumuran darah di lehernya. Aku pikir dia akan takut, ciut dan mundur berpikir aku gadis gila. Namun, tidak, dia malah terkekeh kini menarik tangan kananku keras-keras, mencengkeramnya hingga membuatku menjatuhkan gunting dari genggaman. Mataku melebar, aku mundur hingga tubuhku menyentuh pintu. Dia mengangkat tangan, kukira dia akan memukulku tetapi yang dia lakukan adalah menepuk kepalaku kecil.
"Aku penasaran bagaimana rasanya mengelus kepalamu, seperti orang yang kau panggil dad. Ternyata begini rasanya, kau terlihat seperti anak-anak."
Aku termangu, tidak berkata-kata, dasar pria sinting! Selanjutnya aku meninju perut Lyon. Dia bergerak mundur, memegangi perut tampak kesakitan. Dia mengerutkan kening, sebelum tertawa terbahak-bahak. "Ini pertama kalinya aku ditinju seorang gadis," kelakarnya. Bahkan dia sampai menumpahkan air mata. Aku sungguh tak tahu apa maksudnya. Sekali lagi aku meringis, tanpa sengaja aku meremas tangan kiriku, terlihat luka menganga lebar.
"Aku bisa melihat, tanganmu terluka. Biar aku obati." Dia bangkit dari lantai, melirikku mengedipkan sebelah mata genit. Aku jijik melihatnya, mungkin aku bisa muntah kapan saja. Aku menunggu di sana, menatap furnitur kamar yang Lyon tempati.
Hampir semua benda dan ruangan serba biru—biru muda yang kekanakan, aku tak tahu Lyon memiliki selera seperti itu. Ruangan itu cukup besar, terdapat kasur dengan ukuran queen bed, lampu kuning yang menghiasi meja belajar berwarna putih, dengan langit-langit kamar berwarna putih yang terdapat tempelan bintang, kutebak itu dapat bersinar-sinar dalam kegelapan.
"Juliana," panggilnya. Aku menoleh ke sumber suara, di tangannya terdapat sapu tangan dan air dalam gayung. Dia berjongkok, kali ini sedikit memberi jarak, kupikir itu karena aku meninjunya, ya, aku tidak menyesali hal itu. "Ahhh ...." Aku meringis, merasakan sapu tangan yang asah dengan air hangat menyapu lukaku.
"Tahan, ini memang akan menyakitkan." Aku tidak percaya memberikan peluang padanya untuk membantuku, seorang pria genit yang aneh dan menyebalkan. Kuakui dia anak yang baik, tetapi aku tetap tak mau menerima fakta bahwa aku menerimanya dengan mudah, aku terdesak. Aku menggigit bibirku menahan nyeri, memejamkan mataku bahkan mengatur napas. Dia mengobati lukaku dengan lembut, bahkan sangat halus. "Aku akan menuangkan alkohol." Dia berdiri sekali lagi, mengambil kotak obat. Entah kenapa aku merasa tidak asing dengan hal ini, hingga aku teringat sebelumnya Fahri juga mengobati lukaku, di tempat yang sama, persis.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way I Hate You
RomanceSetelah 15 tahun menghilang, Amelie- pelukis yang pergi tanpa pesan kembali hadir menggemparkan media massa. Dia membawa seorang putri yang memiliki wajah persis seperti Fahri- pengusaha lajang yang tengah berada di puncak kesuksesan. Amelie tak be...