Bryan; she is my wife

23 1 0
                                    

Aku tak dapat menjelaskan, ketika Amelie bersikeras menyelesaikan semua masalah. Itu berarti dia menghadapi ketakutannya sendiri. "Jangan gila, Mom!" An sudah lebih dulu berseru dari seberang meja.

Aku mengangguk, menggenggam tangan istriku. "An benar, kau harus lebih banyak istirahat." Tidak. Aku bahkan tidak akan bisa membantah keinginan istriku. Jadi kuambil opsi lain. "Kami akan ikut, bagaimana?"

"Dad, kau gila! Argh!"

An marah, dia menghentak-hentakkan kakinya melewati kami dan pergi ke anak tangga. Aku mendesah, melirik istriku yang kini tersenyum kecil, memelas. "Aku hanya sebentar, berkunjung."

"Kau pasti?"

"Ya, ya, aku pasti kali ini."

Aku masih tak yakin, kemudian dia mengelus punggung tanganku sekali lagi bicara. "Aku ingin bebas."

"Kau sudah bebas."

"Tidak. Aku tidak pernah. Jadi aku ingin, sekarang ...."

"Sayang ...."

Aku tak pernah bisa menolak, tak juga melepas genggaman tangan kecilnya. Hanya sedikit tekanan itu bisa hancur, aku lagi-lagi kalah. Aku mengangguk, istriku tersenyum melanjutkan sarapan. Sementara An kembali lagi— tidak senang tapi berkata, "Aku ikut. Jadi jangan tinggalkan aku."

Kami tertawa, aku menatapnya bangga. An hanya mendelik, bergumam kesal. Mengatakan aku terlalu mencintai Mom-nya. Aku tak mengelak, bermesraan dengan Amelie hingga An muak.

.

.

.

Hampir siang hari, aku bisa melihat rumah besar serba putih. Dari design, juga penampilannya itu lebih seperti rumah warisan, seninya terlalu kuno. Ada bentuk tangan Belanda juga Indonesia dalam arsitektur rumah. Amelie pernah bilang, pendahulunya adalah penjajah di masa lalu.

Itu menjelaskannya, mengapa Amelie memiliki wajah eropa. Kecantikan luar. Kami memasuki gerbang, terdapat banyak mata memelototi, aku tak terganggu begitu juga An. Kami terus lurus, ada penasaran sendiri dalam diriku soal masa lalu Amelie.

Istriku terus melangkah, lantas akhirnya bertemu dengan wanita itu— ibunya, Nyonya Callington. "Siapa mereka ... Siapa mereka ...?" tanyanya. Aku bisa melihat wajah tua itu persis seperti istriku, dia menatap gemetar, menangis deras, linglung seperti orang sakit.

"Mereka keluarga Amelie, Bunda."

Aku bisa melihat, sorot itu terguncang menatapku juga An. Aku menarik An mendekat, tidak suka mendapati sorot tidak percaya, jijik, skeptis yang diperlihatkan Nyonya Callington. Aku mulai mengerti kenapa istriku ingin pergi jauh dari tempat ini.

"Amelie ... Putriku ... Apa yang sebenarnya terjadi?"

Kami bahkan tak sampai di pintu masuk. An sudah mengepal tangannya kuat-kuat. Aku bungkam belum sempat memberi salam, masih setia berdiri di sisi istriku. Memastikan dia baik-baik saja, karena kini ganjilnya aku melihat wajahnya cerah lebih dari apa pun.

Aku tercekat.

"Amelie ... hamil di luar nikah lima belas tahun yang lalu dan menikah sebelum pergi jauh sekali untuk membesarkan putri Amelie."

Kata-kata itu lancar, keluar dari bibirnya. Tak kudapati keraguan barang sedetik, kokoh tak ada rasa malu, seolah ketakutanku dan An percuma--- tak berguna. Kali ini Amelie lebih kokoh dari batu karang. Teguh.

"Amelie! Jangan berbohong. Itu mustahil ... itu mustahil ...  Amelie ... Putri Bunda yang paling Bunda cintai. Katakan ini kebohongan ya? Katakan ini tidak nyata! Katakan Amelie! Katakan!"

The Way I Hate YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang