Juliana; i hate people that hurt mom

21 1 0
                                    

Aku kembali berada di sekolah, tepatnya hari kedua. Kepalaku menengadah menatap ke samping jendela. Sedangkan di sampingku terdapat Andrea yang sibuk berbisik, mengabaikan guru yang mengajar, bergosip dengan anak di bangku depan.

Sosialisasi menyebalkan.

Aku menyenderkan kepala pada sisi kaca. Aku teringat soal kemarin, satu yang jelas, Mom baik-baik saja.

Aku mengangguk, itu yang lebih penting. Dibanding hal lain, perkara aku bertemu Frans, itu harus disembunyikan. Aku tak mau membuat kondisi Mom memburuk, terlebih Dad akan kembali dalam waktu dekat.

"Juliana Zehra! Apa tadi kamu dengar apa yang Bapak terangkan di depan?"

Aku masih tenang, perlahan melirik ke depan dan segera berdiri. Aku tidak beralasan menatap guru di depan, tepat di bola mata. Untuk beberapa alasan, pria itu gugup kemudian mengulang kata-katanya, tapi dengan nada lebih ramah. "Apa yang Bapak tadi jelaskan?"

Aku mengangguk, menunjuk papan tulis. Jawabannya jelas, tanpa mendengarkan semua pelajaran umum sudah kuhafal. "Sejarah peradaban ketika Hindu memasuki Indonesia. Bagaimana hal itu mengubah kepercayaan masyarakat Indonesia yang sebelumnya paganisme dan animisme hingga akhirnya mulai beralih kepercayaan pada agama Hindu."

Semua orang menatapku, guru itu berdehem tampak malu menegurku. Lantas membiarkanku kembali duduk, kupandangi lagi jendela, melihat tukang kebun yang memangkas rerumputan.

"Baiklah, Bapak akan kembali menjelaskan."

Guru melanjutkan pelajaran, tatapan mereka kembali fokus pada papan tulis dan tidak ada lagi yang memperhatikan. Tapi, aku bisa melihat dari pantulan jendela, pemuda yang kemarin tidur di kelas masih memperhatikanku, dia berada tepat di belakang. Melalui sudut mata di atas lipatan tangan, menyorotku jelas.

Aku tidak suka tatapannya.

...

Aku harus menarik kata-kata bahwa menyembunyikan fakta bahwa Fahri menemuiku adalah hal berguna. Itu semua bohong. Lagi-lagi pria itu sudah berada di parkiran, menantiku datang, bahkan tersenyum ketika sudah melihat batang hidungku.

Sorot mataku menjadi dingin, walau lega Mom tidak menemuinya lagi. Tapi, kini aku yang menjadi sasaran, bibirku membentuk seringai mengejek, melewatinya bahkan ketika dia menyapaku.

"Kau sudah pulang. Apa kau mau aku antar pulang?"

Aku memutar bola mata, berbalik kemudian mataku menangkap seluruh visualnya dari kepala hingga ujung kaki. Terlalu mirip, itu mengganggu. "Sejujurnya kenapa Anda ada di sini? Apa Anda punya rasa tidak malu atau sepenuhnya brengsek?"

Kata-kata kurang ajar tidak bisa kutahan. Jadi ketika kebencianku meletup-letup, membekukan, bahkan mengulitinya hidup-hidup dia tidak tersinggung. Orang aneh. Alih-alih marah dia tersenyum, bahkan lebih lembut dari kemarin, mata gelapnya berbinar-binar sayang. Aku mundur, tidak seharusnya begini. "Entahlah, aku hanya ingin bertemu putriku. Setidaknya sebentar saja."

Aku mengetatkan rahang, muak, sepenuhnya tidak suka perhatian Fahri. Aku membencinya. "Tapi, saya tidak mau melihat Anda. Jadi bisa kita tarik kesimpulan bahwa Anda jangan datang lagi kemari." Satu kali lagi aku hendak menegaskan, kepalaku sakit. Jika Mom bertemu orang ini, semua usahaku menjaga Mom sia-sia, berantakan.

Aku terdiam untuk waktu yang lama, mengeratkan genggaman pada tali ransel. Dia sepertinya khawatir, sekilas tangannya hampir menyentuh pundakku, tapi aku menengadah hingga mata kami bertemu.

"Aku berharap lebih baik aku tidak terlahir dari benih orang sepertimu dan Mom tidak akan pernah menderita seperti sekarang."

Satu kejujuran pahit, seperti pil-pil yang Mom minum, sakit yang tergores di kulit Mom. Semua penderitaan yang Mom terima berasal darinya, dariku. Karena dia aku terlahir, karena aku terlahir hidup Mom berantakan. Aku terlahir karena kesalahan mereka, tapi untuk Mom aku menerimanya, tidak untuk dia.

Fahri menarik tangannya dariku, dia hanya kembali memberikan ekspresi simpati, perhatian, berusaha mengerti. Itu membuatku tak sabaran, ingin meninju wajahnya. Karena pada titik ini, dia bahkan tidak ada dalam hidupku, dan tidak di masa yang akan datang.

"An!"

Hening itu lenyap, suara familier yang kurindukan. Aku menoleh cepat, menemukan pria jangkung, tubuh tegap dengan rambut kecoklatan juga janggut tipis yang khas berjalan ke arahku. Aku berderap, seperti anak kecil, seperti bayi baru belajar berjalan, membentangkan tangan lantas terjatuh memeluknya erat.

"Dad!"

"Halo, Tuan Putri."

Suara serak yang hangat, Dad. Satu-satunya ayahku, suami Mom dan juga orang yang kucintai kedua setelah Mom. Aku merindukannya, aku memeluk Dad erat-erat, hingga lehernya hampir tercekik, tapi Dad hanya tertawa membalas pelukanku, mencium pucuk rambutku.

Sekarang aku tidak sendiri.

Aku masih punya Dad.

"An?"

"Ya, Dad?"

Dad melonggarkan pelukan, menatapku dengan senyuman hangat. Dia mengusap kedua pipiku, menggendongku, aku tidak keberatan berpegangan pada Dad. Selanjutnya kami berbalik menemukan Fahri yang membuat sorot aneh. Ah, aku melupakan orang brengsek itu.

"Ngomong-ngomong, An. Siapa pria ini? Apa kau mengenalnya?"

Senyumku yang polos, memerankan sebagai tuan putri lenyap. Aku membuang wajah, menyembunyikan kepalaku di pundak Dad. Tak berniat bicara. Dad mengerti, aku tahu itu. Karena Dad mengusap punggungku, memberikan kehangatan, aku tidak melihat ekspresi Dad. Akan tetapi genggaman Dad semakin kuat di punggungku

"Fahri, Ayah kandung dari Juliana Zehra."

"Ah? Kau dia?"

Aku terkejut. Jujur saja, kali ini aku menatap Dad. Nada suara Dad dingin, tidak bersahabat. Itu bukan sikap Dad biasanya, menurunkan aku dari gendongan, Dad menggenggam tanganku erat. Balik menatap Fahri, mereka berjabat tangan.

"Salam kenal, Fahri. Saya Bryan, Ayah An."

Aku membisu, mendengar perkenalan Dad. Aku semakin mengeratkan tangan, Fahri membuatku tidak nyaman, kupikir Dad juga. Dan perang dingin ini tidak kusukai, bulu kudukku berdiri, aku menarik jas Dad, mengalihkan perhatiannya tersenyum manis. Ekspresi yang hanya bisa kuberikan pada orang tuaku. "Dad, ayo pulang. Mom pasti sudah menunggu di rumah," bisikku.

Aku ingin segera pergi dari sini, Dad menyadari hal itu. Tanpa kata-kata kami pergi, aku mendengus senang berjalan pergi bersama Dad. Yang menyebalkan adalah, Fahri bersikeras mengganggu kedamaianku, kebahagiaanku, ingin menghancurkan hal-hal yang tersisa. "Bagaimana jika kita berbicara dan makan bersama? Ada yang harus saya sampaikan pada Anda."

Kali ini aku benar-benar sudah tidak tahan, aku melompat meninju perutnya hingga dia terjerembab jatuh. Aku melotot penuh kekesalan bersiap melambungkan tinju lain. Dad menarikku, tidak membiarkanku memukul Fahri lebih jauh. Dadaku naik turun emosi, sudah begitu lama aku menahan hal ini.

"Kau bukan ayahku! Jangan bersikap seolah kau ayahku!"

"Juliana!"

Dad menarik tubuhku, menggeretku dari parkiran tidak memberikan kesempatan untuk menghajar Fahri. Wajahku merah padam, tubuhku berontak, ketika sampai di mobil Dad memelukku, menenangkanku. "Sayang ... Kau tak perlu melakukan itu. Akan kupastikan kau tak bertemu dengannya lagi, atau Mom. Tenanglah ... tenanglah ... Dad di sini."

Suara Dad perhatian, aku ingin menangis jika bisa. Dad tahu, mau bagaimanapun aku berusaha. Berusaha untuk melindungi Mom, menjadi dewasa, logis. Pada akhirnya aku hanyalah anak berumur empat belas tahun. Aku hanya benci hal-hal yang menyakiti Mom.

Aku menenggelamkan wajahku di pelukan Dad.

Bersambung ....

13 Mei 2024

The Way I Hate YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang