Amelie; the day after tomorrow I want to go

37 4 0
                                    

"Mom?"

Aku tersentak, kemudian mendesah kembali tersenyum mengusap kepala An.

"Apa Mom baik-baik saja?"

An menyentuh lenganku yang berkeringat dingin. Lidahku masih kelu, suaraku tercekat, aku membersihkan kerongkongan kemudian tersenyum tipis.

Aku bisa melihatnya mengerutkan dahi, matanya kembali menelanjangiku. Aku ingin kabur jika bisa, akan tetapi An tak mengatakan apa pun. Dia membuang wajah ke jendela, memasang wajah masam.

Aku tidak tahu putriku bisa sepeka itu.

An tahu siapa pria itu.

An tahu tentang Fahri.

Aku tidak pernah menyembunyikan masa laluku.

Aku menggosokkan kedua tangan, menyembunyikan gemetarpp yang masih menerpaku. Aku tak mau An menganggapku lemah.

Setelah aku berbicara pada Fahri, An mengambil alih mengatakan sesuatu seperti 'persetan kau' atau 'mesum sialan' hingga akhirnya Fahri melepaskanku. Dan An menarikku ke taxi, lantas diam tak mengatakan apa pun.

"Apa dia adalah ayah kandungku?"

Aku kini menatap wajahnya, taxi masih melaju menuju kediaman baru kami. Kembali terbayang di kepalaku bagaimana ekspresi terkejut Fahri. Mulai dari kebingungan, rindu, kekecewaan, semuanya campur aduk. Astaga. Aku menghela napas, tidak, tidak boleh. Aku tidak boleh memikirkannya.

"Iya, kamu benar."

An yang mendapati jawabanku menunduk, mengepalkan tangannya kuat-kuat. Aku meremas bahunya, ekspresi datar itu berubah menjadi lebih menyedihkan, aku mengusap pipinya. An mengatupkan rahang, menatapku lagi kemudian memaksakan tersenyum.

Hatiku mencelos, rasanya dia menahan rasa nyeri itu hanya untukku. Sebelum aku bicara, An sudah angkat suara. "Apakah rumah kita sudah dekat?"

Aku mengangguk, kembali tenang tidak perlu memikirkan perkara ini.

"Ya, masih sedikit jauh. Sekitar satu jam kita akan sampai."

An menggenggam tanganku, aku menoleh mendapati putriku yang manis mengecup kedua tanganku. Mataku terbelalak, menatapnya yang kembali bersikap manja, menjatuhkan kepalanya dalam pangkuanku.

"Jangan khawatir, Mom. Aku baik-baik saja. Aku akan melakukan apa pun yang kuinginkan seperti yang Mom harapkan. Kita akan melewati semuanya bersama-sama."

Aku membisu, tak bisa menjawab dan An memelukku. Perasaanku ikut meleleh, otot-ototku yang sedari tadi tegang mulai rileks. Aku menatapnya lekat-lekat, putri kecilku sudah dewasa. Aku mengecup dahinya, mengangguk. "Iya, Mom tahu. Kita lewati ini semua bersama."

Aku meletakkan dahiku pada milik An, kehangatan ini menyebar. Pada akhirnya An adalah satu-satunya yang menjadi cahayaku. Aku tak pernah menyesal melahirkan bayi kecilku ini, aku bergumam, "Mom berharap kita bisa bahagia untuk ke depannya."

An tertawa lembut, memeluk lenganku menyodorkan jari kelingking.

"Janji?"

"Janji."

.

.

.

Aku menatap rumah baru kami, lebih tepatnya seperti villa dengan bangunan panjang nan luas, arsitektur yang kental dengan abad pertengahan terlihat jelas, membuat mata seniku melihat saksama. Memang tak sebesar yang di pulau, tapi ini lebih dari cukup untuk tinggal dua orang.

Dengan rumah yang memiliki belasan kamar, terdapat taman juga ayunan kecil. Terdapat air mancur dengan patung putih, berbentuk wanita yang dipahat dengan baik. Kami disambut wanita paruh baya, dia menunduk mengucapkan salam.

The Way I Hate YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang