Juliana; I, An

23 0 0
                                    

Aku, An.

Ya, itu intinya.

Ketika keluar dari mobil, berpamitan dengan Mom, aku terdiam di salah satu koridor. Tertutupi semak-semak, juga pilar sekolah aku mengawasi Mom hingga dia benar-benar pergi. Itu berlangsung sepuluh menit, aku lega Mom baik-baik saja sekarang.

Kemarin Mom kacau. Aku paling benci melihat sorot matanya yang biru kosong. Hampa. Jadi aku meminta Dad menelpon Mom. Jangan sampai Mom melakukan hal berbahaya. Aku atau Dad sama-sama tidak menyukainya.

Aku menoleh, ekspresiku datar sepenuhnya memandangi koridor. Siswa-siswi yang berhamburan, bising suara orang-orang, dilihat dari jelas kondisi sekolah ini baik, royal, high class. Aku tersenyum tipis, Dad selalu menyiapkan yang terbaik.

Ini pertama kalinya aku keluar dari pulau, tidak. Mungkin itu anggapan Mom. Jika Mom sedang memiliki kesibukan, Dad akan mengajakku jalan-jalan keluar. Berkeliling ke kota terdekat, negara lain mulai bersenang-senang menghabiskan waktu berdua. Jadi ini bukan pertama kalinya.

"Maaf!"

Aku hampir terjatuh, satu tangan mungil menggapaiku. Mencengkeram lenganku agar tak terjatuh karena tersenggol. Aku ingin ramah, setidaknya sekali. Jadi aku menggeleng kemudian tersenyum, gadis yang menabrakku, tingginya tak sampai pundak menunduk dan meminta maaf berkali-kali.

Itu merepotkan.

Ketika melihat langkahnya berjalan bersama yang lain. Kami sampai di titik yang sama, kelas X 1. Suara bising langsung menerpaku, beberapa orang terpaku termasuk gadis itu. Aku menghela napas, memaksakan kembali tersenyum. Di buku panduan sosial, itu yang dibutuhkan bukan untuk berkenalan?

"Saya Juliana. Salam kenal."

Baru sedetik, dua detik hening selanjutnya terdengar sambutan meriah. Aku mengangkat wajah dan mendapati antusiasme mereka. Terlebih gadis pendek tadi, dia berseru, "Wah, kita sekelas! Kamu cantik banget, pasti kamu akan populer di antara para cowok!" Dia berjingkrak-jingkrak kegirangan.

Sungguh. Gendang telingaku hampir pecah.

Abaikan semua akan baik-baik saja

Itu bohong. Aku tidak terbiasa sama sekali.

Orang-orang di sini terlalu normal dan berisik— berbisik di belakang, berseru tanpa alasan. Satu dua anak berputar-putar di dalam kelas, melempar gumpalan kertas kotor, sibuk masing-masing. Aku menyerah menjadi ramah. Aku berjalan melewati meja-meja mencari bangku kosong.

"Namaku Andrea! Salam kenal, ya!"

Dia terlalu bersemangat, aku kira Dad orang paling berisik di dunia. Nyatanya ada yang bisa mengalahkan itu. Aku hanya mengangguk, mengiyakan dan berusaha untuk tidak menarik perhatian. Andrea menempel, duduk di sampingku seperti perangko.

Aku tidak nyaman.

"Ngomong-ngomong aku bakal panggil kamu Julia. Bagus, 'kan? Hehehe. Hey, guys! Sini, sini, ada murid baru lho. Dia cantik banget."

"Hey!"

Aku melirik Andrea tidak percaya, gadis-gadis berdatangan mengulurkan tangan. Tarik aku pulang dari tempat ini. Rasa-rasa seluruh jiwaku terserap ke dasar bumi.

"Hey, kalian semua berisik. Aku mau tidur. Pindah sana." Aku melirik bangku samping, aku tidak menyadari ada pemuda yang kini tidur di sana. Matanya setengah memerah, wajahnya mengantuk bahkan terdapat bekas kemerahan di wajah. Menandakan dia tidur cukup lama.

"Ish, si nolep udah tidur mulu, ganggu orang aja."

"Siapa yang ganggu? Murid baru ini juga keliatan gak nyaman sama kamu."

"Cih, bilang aja iri. Kamu juga pengen kan sebangku sama Julia?"

Aku sepenuhnya menyerah dengan sosialisasi. Keinginanku bersikap baik di hari pertama sekolah berantakan. Mengapa orang-orang di sini begitu kekanakan? Aku menghembuskan napas kasar, bangkit dan mengambil bangku paling belakang dekat jendela.

"Eh? Julia!"

Aku mengabaikannya. Dia terlalu berisik, memejamkan mata melipat kedua tangan di atas meja dan berpura-pura tertidur. Terima kasih pada anak— entah siapa itu yang tertidur di sampingku. Aku berterima kasih mendapatkan ide ini.

"JULIAAAA!"

Aku menulikan pendengaranku, untuk hari pertama sekolah kesanku buruk. Aku pikir tinggal di pulau akan lebih baik, terasingkan dan tidak bertemu orang-orang merepotkan.

.

.

.

Pandanganku letih, lurus menatap jalanan terdiam seperti itu selama beberapa menit. Aku tidak bisa menghitung seberapa banyak menghela napas. Aku tidak tahu jika bersosialisasi seberat ini, itu membuatku lelah di sisi lain. Energiku terkuras habis.

Setelah berusaha menghindari Andrea— si gadis berisik itu, perlahan aku melirik ponsel. Mendapatkan pesan bahwa orang suruhan Dad akan menjemput. Aku pasti bahwa mereka sudah datang awal— jauh sebelum jam pulang sekolah.

Langkahku menuju gerbang sekolah, tak sabar untuk segera beristirahat. Aku masih berjalan, sebelum tersentak segera mundur beberapa langkah ke belakang. Tepat di depanku mobil sedan berhenti. Sedikit saja telat menginjak pedal rem, aku bisa tertabrak.

Aku berdecak, beralih dari keterkejutan aku ingin kembali pulang. Aku mulai mengitari mobil segera menuju penjemputan. Mengabaikan suara dari pengendara yang memanggilku, aku tak mau repot berbalik. Aku ingin pulang.

"Ke mana kau mau pergi, 'Nak?"

Aku menarik lenganku, tapi orang yang tadi hampir menabrakku ternyata sudah turun. Mencekal tanganku agar tak pergi. Aku masih belum mengenalinya karena suara bising di sekitar, hingga akhirnya pandangan kami bertemu. Aku terkesiap, berusaha menutupi keterkejutanku.

"Saya tidak mengenal Anda. Jadi biarkan saya pergi atau saya teriak dan panggil satpam saat ini juga."

Aku memperingatinya, dia tersadar akan sikap lancang itu dan melepaskan genggamannya. Aku bisa melihat, wajah itu persis seperti milikku— hanya dalam versi pria. Kedua mata berbentuk sabit, rambut hitam legam. Pria tiga puluhan dengan wajah tampan— Fahri yang ditemuiku kemarin bersama Mom.

Ayah biologisku.

Aku jijik menyebutkan bagian itu, dan melihatnya di depanku membuatku lebih muak. Dia berusaha memahami kebencian yang bersinar-sinar di mataku, akan tetapi dia membalasnya dengan senyuman. Hingga lesung pipi terlihat di kedua pipi. "Aku tidak akan menahanmu. Aku hanya ingin menyapa."

"Lalu? Sudahkan? Saya akan segera pergi."

Aku berharap ini terakhir kalinya kita bertemu. Sikap hangat yang dipancarkan, kemiripan kami, membuatku muak. Orang yang sudah menghancurkan Mom, dia terlalu mirip denganku. Tapi, kenapa Mom bisa sebaik itu padaku? Dad juga?

Aku memalingkan wajah, memegang ransel. Tidak mau memikirkannya. Hening di antarana kami, sebelum dia kembali menginterupsi— Fahri mulai mengatakan kebenaran yang kutahu— tapi tidak pernah ingin kuaakui. "Juliana Zehra, apakah kau tahu jika aku ayah kandungmu?"

Aku mengepalkan tangan, segera membalikkan badan tidak lagi menunggu lebih lama. Tawa keluar sementara tatapanku mencemooh, menusuk, dingin. Bagaimana seorang bajingan bisa mengakui hal itu dengan mudah? Sementara dulu dia meninggalkan Mom dan menikah dengan wanita lain?

"Tidak ada alasan saya harus beranggapan bahwasanya Anda adalah Ayah saya. Karena jujur saja, Anda bukan siapa-siapa bagi saya."

Seiring kataku terlontar, sirat kesedihan tersorot dari matanya. Sementara dalam diriku kebencian padanya semakin bertambah, menjadi gunung, meninggi menembus langit.

Karenanya Mom menderita. Bahkan jika Mom dan Dad mengatakan aku adalah berkah bagi mereka. Tapi, aku tak membuat Mom berhenti untuk jatuh dalam rasa sakit, penyesalan-penyesalan itu, yang membuatnya gila. Yang membuatnya berharap mati, bahkan jika kata itu tak keluar.

Aku melewatinya, beranjak menjauh. Dia tak mengejarku— mungkin sadar diri siapa yang salah di sini. Aku bisa merasakan hawa panas dari matahari membakar kulit, wajahku memerah, bukan karena kepanasan tapi amarah.

Bersambung ....

11 Mei 2024

The Way I Hate YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang