Fahri; party ²

4 0 0
                                    

Ramainya orang-orang mulai memadati aula pesta, mereka mulai meliuk, bergerak, menari mengikuti alunan musik yang menggema—mengalun indah. Lagu terus berputar, berpusar menarik minat orang-orang untuk ikut berdansa, berkumpul di tengah aula.

"Fahri."

Kutengok sumber suara dan mendapatkan orang tuaku yang baru saja datang. Kedua Kakakku, Ayah dan Ibu. Mereka menyusuri karpet merah mendekatiku, aku tersenyum, lain dari mereka yang menatap sinis, mata mereka berkerut seolah jijik, tentu aku dapat memahami hal itu, mereka membenciku. Aku mewajari sikap mereka, tak menghilangkan senyumku.

"Kau harus melakukannya dengan benar kali ini."

Ayah merogoh saku celana lantas menyodorkanku sebuah flashdisk berwarna hitam, ketika kucapai benda pipih itu, lantas tanganku terhenti secara paksa—Ayah mencengkeramnya kuat, menyorot tajam. Tatapan itu lebih dari sekadar sorot membunuh. "Ini kesempatan terakhirmu, jadilah jantan bukan bajingan."

"Tentu, tentu." Aku mengangguk-angguk, memastikan aku paham, Ayah langsung memalingkan wajah, dengan isyarat, dia memerintah keluargaku mengikutinya berbaur dengan tamu undangan. Aku mendesah, meremas bekas cengkeraman Ayah, rasanya cukup menyakitkan. Aku mendengkus, berbalik segera menjalankan rencana.

Langkahku terasa begitu ringan, seringai tak lepas dari wajahku. Di bali panggung tempat para panitia berada aku menyerahkan flashdisk untuk menampilkan file informasi yang harus kusebarkan. Tepat di momen ini, maka tak akan ada lagi yang menghalangi niatku untuk membentuk keluargaku sendiri. "Setelah lagu selanjutnya diputar, buka file dalam flashdisk ini. Jangan sampai terlupa," peringatku pada mereka, para panitia mengangguk, berhamburan segera bergerak mengikuti perintah.

Aku melirik ke arah kerumunan pesta, mencari sosok yang sedari tadi menjadi perhatianku, dan pencarian itu berakhir saat menemukannya—yakni El sedang berdansa bersama Bryan. Pria itu mengecup El berkali-kali, yang dibalas senyum tipis yang membuatku geram. Bagaimana mungkin wanita yang pernah jatuh cinta padaku kini tersenyum dengan pria lain? Bahkan dia adalah ibu dari putriku?

Aku berjalan keluar, mencari sosok lain. Yakni, Juliana. Setidaknya sebelum kejutan diumumkan aku harus memberitahu putriku itu. Aku sempat terhalang oleh beberapa kolega yang menghampiri, kami membicarakan bisnis, juga kepentingan. Kupercepat obrolan itu dan mengakhirnya, aku harus cepat menemukan putriku.

Dan di sanalah aku bertemu dengannya, Juliana berdiri di sudut pesta, memandangi orang tuanya yang tengah berdansa. Kudekati putriku dan menjulurkan tangan, menampilkan senyum paling tulus yang pernah kubuat. "Kau gila?" bisiknya mengernyitkan dahi, intonasinya terdengar muak, benci, dan jengkel.

Aku terkekeh sebagai balasan, sebagian tamu undangan langsung berbisik, "Astaga, semakin dilihat mereka begitu mirip!" Wanita lain ikut menimpali, "Kurasa mereka memang anak dan ayah. Mereka begitu mirip, bak pinang dibelah dua."

Juliana tertawa hambar, menatap tanganku yang terjulur. Semakin lama dia menolakku, maka semakin banyak perhatian yang diberikan para tamu undangan. Itu memang rencanaku, membuatnya tunduk, patuh secara tidak langsung. Juliana bagaikan binatang buas yang harus dijinakkan dan aku kini memanfaatkan kondisi itu.

Tak sopan untuk menolak tawaran tuan rumah, semua orang tahu akan hal itu.

Juliana semakin menyipitkan mata, rahangnya mengeras, tatapannya setajam pisau yang dapat membelah apa pun. "Bajingan," umpatnya. Dengan enggan tangannya menggapai ke arahku. Aku meremas tangannya lembut membawa dia masuk ke tengah aula. Lagi-lagi perhatian kini tertuju pada kami.

Lagu berikutnya mengalun, aku membawa lengannya untuk berada di pundakku, sementara aku menggenggam pinggulnya dan berdansa. Dia sedari tadi mengalihkan padangan, membuang wajah, tidak mau bersitatap denganku. Dia memberi batasan setebal bongkahan es yang berusaha kuterobos.

"Bagaimana kabarmu, 'Nak?"

"Enyah kau." Akhirnya dia menatap mataku, emosinya sangat mudah tersulut, gegabah, dia benar-benar tipikal anak muda yang mudah dipancing. Aku tertawa, akhirnya dapat mengambil perhatiannya dengan cara seperti ini. Memang cara yang buruk, tetapi cukup berhasil.

"Berhenti seolah kau mengenalku bajingan." Aku mengigit bibirku menahan ringisan. Kakiku diinjak berkali-kali saat berdansa menggunakan sepatu high heels yang dikenakan Juliana. Dia menyeringai, puas. Sebagai balasan aku memutarnya ke atas, mengapung dan kembali meletakannya di depanku, seperti seorang putri.

Dia tercengang, mulutnya setengah terbuka dan yang terjadi selanjutnya Juliana meremas pundakku kuat-kuat, bahkan rasanya bisa memar kapan saja. Dia sangat membenciku, benar. Aku menarik napas, tatapanku melembut ketika pandangan kami kembali bertemu.

"Maafkan Ayah, 'Nak." Kali ini ucapanku tulus, dia memandangiku lama, sebelum membuang wajah. "Kau tidak akan pernah jadi ayahku." Juliana berputar, bergerak menjauh sebelum kembali berbalik dan masuk dalam dekapanku. Melihatnya yang seperti ini, dia tak ada bedanya dengan anak gadis pada umumnya.

Putriku, entah kenapa hatiku terenyuh. "Belum." Aku menyela. Lagu berakhir, aku menunduk dan mengecup punggung tangan putriku. Dia menatapku masih sama bencinya seperti pertama kali bertemu. Namun, kali ini aku dapat menggapainya—dan tak akan pernah kulepas. "Nantikan saja, 'Nak."

...

"Saya akan membuat pengumuman penting." Lagu terakhir berhenti, para tamu undangan saling lirik, bertanya-tanya apa yang terjadi. Bagaimana juga ada pengumuman di tengah pesta megah yang mereka datangi. Tidak lazim adanya pengumuman di tengah acara, biasanya waktu ini hanya dipakai untuk bersenang-senang, berpesta pora, minum-minum.

"Saya yakin Anda sekalian menduga-duga apa yang hendak saya katakan," ungkapku. Mereka mengangguk sebagai persetujuan, sebagian silih berbisik.

"Di sini saya akan menetapkan pewaris dari Keluarga Priyambada—yang akan mewarisi perusahaan siaran televisi selanjutnya." Tepuk tangan riuh, berhamburan, mengisi aula dengan sorak sorai. Kentara sekali wajah mereka penasaran, menjulurkan leher ke depan, menunjuk-nunjuk diriku di depan dengan wajah.

Layar televisi mulai menampilkan wajah seorang gadis, semua orang segera mengamati layar, menengok, silih dorong untuk melihat lebih jelas. Kamera semakin memperbesar objek, di sana terlihat seorang gadis dengan rambut pendek, mata seperti bulan sabit, dengan gaun merah selutut yang dituju.

"Juliana Zehra Priyambada. Putriku yang akan mewarisi perusahaan pada generasi berikutnya."

Dari layar bisa kulihat bagaimana ekspresi bingung Juliana, putriku itu melirik sekitar, semua mata tertuju padanya. Aku mengulurkan tangan. "Kemarilah putriku, datang pada Ayah." Tampak wajahnya menjadi berang, dia melangkah mundur, sementara El masih dengan tatapan kosongnya berdiri di depan putriku.

"Dengan hak apa Anda membuat keputusan sepihak? Juliana adalah putri saya." El bicara dengan keras, tatapannya semakin lama dipenuhi kebencian. Ah, sekali lagi aku berhasil menempatkan kehidupan di mata itu. "Juliana Zehra adalah bagian dari Keluarga Espargaro. Saya harap Anda bisa bertanggungjawab dengan apa yang Anda katakan," timpal Bryan tidak senang.

Aku mengangkat tangan, layar televisi berubah. Menampilkan hasil tes lab yang mengatakan bahwa DNA diriku dan Juliana memiliki hasil positif. Mata Juliana membelalak, aku dapat melihat wajahnya memerah, jengkel. Tidak, lebih tepatnya berang. Entah kenapa aku menikmati reaksi putriku. Benar, ketika Keluarga Priyambada dan Keluarga Callington membuat undangan untuk Juliana, mereka tak sepenuhnya berpikiran untuk membujuk gadis keras kepala itu. Mereka hanya ingin mengambil sampel DNA—seperti helaian rambut untuk membuat pengumuman pewaris.

"Menurut hasil tes, Juliana adalah putri kandung saya. Dan Juliana berhak mewarisi perusahaan Keluarga Priyambada."

Aku menyeringai, mataku berkilat—penuh ambisi. Aku selalu mendapatkan apa yang kumau. Dan kali ini menjadikan kami keluarga bukanlah sekadar angan, ini adalah mimpi yang menjadi nyata.

Pada akhirnya kalian akan menjadi milikku.

Kalian sudah terjebak dan tak akan bisa keluar.

Selamanya.

Bersambung ....

20 Mei 2024

The Way I Hate YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang