Juliana; I can handle it

14 0 0
                                    

Aku menemukan alasan mengapa aku menonton pemuda kemarin bermain basket. Itu karena aku senang melihat kesungguhannya, dalam passion yang dia senangi, berlatih sungguh-sungguh. Kurapatkan genggamanku pada pistol, menembak target-target dengan bundaran merah yang terpajang di dinding. Target tembakan.

Untuk sekali aku meleset, kedua kalinya berhasil. Setelah menangkap bahwa aku menembusnya. Target mulai bergerak, berputar-putar, menantangku untuk mengenainya, kuturuti tantangan itu terus menembak. Tepat hingga bundaran paling tengah, aku tersenyum puas.

"Kau bersemangat lebih dari biasanya."

"Tidak juga."

"Jangan bohon pada Kakek-mu ini. Kakek bisa melihat, kau ingin membunuh orang."

Aku tak menjawab lagi, Kakek tergelak. Pria dengan tubuh tegap, rambutnya hampir memutih semua mengenakan tongkat berjalan, dia mirip dengan Dad. Menepuk-nepuk bahuku, dapat kurasakan kebanggaan dari sorot matanya.

"Kau jenius. Kau memang cucuku."

"Dad?"

"Jangan bicarakan anak itu."

"Aku anak Dad."

Kakek berdecak, bergumam kesal ketika memasukkan peluru mulai menembak. Semuanya tepat sasaran, tanpa satu pun meleset. Tak dapat kusingkirkan rasa kagum yang menyeruak, membuatku semakin terpesona tak ingin mengalihkan pandangan.

Kakek sudah berada di sisiku sedari tadi, training. Kakek senang menyebutnya begitu, ada beberapa minggu aku akan menghabiskan waktu dengan kakek saja, kami melakukan pelatihan penerus. Mulai dari yang paling kecil, persoalan bisnis, teori-teori, berupa ekonomi perusahaan. Atau latihan fisik, senjata seperti menembak.

Aku tidak pernah menyesal, juga tidak ingin anugerah ini terlepas.

Sebagai pewaris Keluarga Espargaro—keluarga Dad. Aku merasa ini adalah panggilan takdir, di mana aku memijak posisi ini, tak ayal seringkali aku lebih memilih berlatih untuk membuktikan kemampuanku. Kakek terus memuji-muji, mengatakan aku pasti mengalahkan Dad. Aku pemberani, tak seperti Dad. Dad terlalu pengecut dan sebagainya, tak dapat meneruskan bisnis gelap turun temurun.

Harus kukatakan hubungan keduanya benar-benar buruk.

"Jadi kenapa kau tidak mengatakan siapa yang ingin kau bunuh?"

"Jangan menggodaku, Kakek."

"Aku tidak menggoda, sedikit merayu. Itu berbeda."

Aku memutar bola mata, mengambil handuk mengelap keringat. Hampir beberapa minggu aku di mari dan berita soal rumor menyebar. Tentang Mom yang memiliki hubungan dengan Fahri, media yang berbelit-belit membuat gosip murahan, semua berita-berita sialan.

Kakek tahu hal itu, karenanya akhir-akhir ini terus membujuk—siapa saja yang ingin kuhabisi. Bahkan jika orang tua itu keras, dia terus terang ingin memanjakanku, walau jelas dengan caranya yamg tidak lazim. "Aku bisa mengurusnya sendiri."

Kakek diam, menatapku tidak berkomentar. Karena dia tahu, bahkan jika aku maupun Kakek yang bergerak. Dad sudah lebih dulu mengarahkan senjata, bersiap memporak-porandakan mereka. Semua yang menyakiti Mom. "An ... Dengar. Kakek tahu kau tidak membutuhkan ini. Tapi, telepon kakek kapanpun kau butuh. Kau cucuku, penerusku, tak ada waktu jika kau terlibat masalah."

Aku menyeringai, tak menanggapi tawaran besar Kakek. Mungkin nanti, tapi tak sekarang. Aku menyentuh amplop putih di tanganku, tepat tiga hari yang lalu Keluarga Callington—keluarga Mom sebelumnya mengirimkan pesan pribadi. Memintaku untuk menemui mereka, memintaku hadir, tak berpikir luka yang mereka berikan pada Mom.

Mereka hanya ingin menang, dan sebagai kepala keluarga selanjutnya aku akan menanggapi mereka. Tidak sebagai tamu, tapi musuh yang bersiaga. Kupandangi kakek dengan senyuman manis, membiarkan Kakek mengetahui aku bisa melakukannya sendiri.

"Aku akan melakukannya dengan caraku sendiri, Kakek."

.

.

.

Aku cukup terkejut. Ketika aku sampai di rumah serba putih, keluarga Mom menjadi lebih ramah—berbeda dari terakhir kali. Menghindari pengawasan Mom dan Dad akhirnya Kakek membantuku agar menyelinap, menerima undangan Keluarga Callington.

"Juliana ...."

Aku memusatkan penglihatan, wanita sialan—ibu Mom. Sampah tidak berguna. Banyak sekali umpatan yang ingin kulontarkan tapi kutahan. Aku hanya mengangguk, tak banyak berkomentar membiarkan mereka berusaha menjilat, mengungkapkan maksud busuk mereka.

"Aku sungguh minta maaf ... Penyambutan kami saat itu sangat buruk. Nak Juliana pasti tidak nyaman."

Nak? Semenjak kapan kita sedekat itu? Tidak kutanggapi basa-basinya. Aku malas untuk ikut bermain-main, di sebelahku ada penjaga yang Kakek berikan. Mengawasi mereka— berjaga-jaga jika mereka ingin melawanku, atau berniat buruk. Itu tidak mustahil.

Kami duduk-duduk di atas sofa. Saling pandang meminum teh. Ada wanita asing di seberang meja, wanita tua—sama tuanya dengan Callington sialan.  Pandangan mereka hangat, ada rasa bersalah, juga penghinaan di sisi lain. Hal kontras yang bertentangan. "Jadi kenapa Anda sekalian memanggil saya."

"Kami keluargamu, Juliana. Tidakkah itu hal yang salah ingin menemui cucu sendiri?"

Aku ingin mengapresiasi bagaimana akting mereka berjalan. Jika saja aku anak naif yang mengharap cinta, sudah kugapai tangan mereka—tapi tidak. Kubiarkan mereka memohon-mohon, mengemis seperti itu. Lagipula penderitaan Mom tidak sebanding dengan eksistensi mereka.

"Kau pasti kebingungan ... Anak malang ...."

Aku kini bisa menatap wajah itu, selain si sialan Callington. Dia mengatakan siapa tadi? Keluargaku? "Aku nenekmu ... Ibu dari Fahri Priyambada. Ayahmu." Aku mendelik, jelas dia menahan kesal. Mereka berdua beranggapan aku hanya bocah. Jadi tidak memperkirakan sikap kasarku.

"Bisakah langsung ke intinya?"

Itu adalah tindakan tidak sopan, aku sadar betul ketika akhirnya ekspresi wajah mereka berubah. Menghela napas, sialan Callington bicara, "Kami ingin Amelie kembali."

Aku menahan tawa, untuk apa Mom kembali jika akhirnya hanya untuk mendapat cercaan dari otak kosong mereka? Hingga akhirnya sinting Priyambada balas berkata, "Kami akan membuat Fahri bertanggung jawab. Kalian bisa jadi keluarga."

Jadi aku diundang hanya untuk ini?

Aku tercengang, hampir kehabisan kata-kata mendapati kebodohan yang sudah mencapai akar-akarnya. Segala umpatan ingin melompat. Apakah mereka anggap lima belas tahun penderitaan Mom bisa diabaikan? Apakah bisa?

"Saya ke sini bukan untuk menjadi bagian keluarga. Saya sudah sepenuhnya menjadi Keluarga Espargaro. Tidak peduli bagaimana Anda berkomentar."

Aku menatap mereka, sandiwara mereka harus berakhir. Aku di sini hanya untuk melindungi Mom, tidak lebih atau kurang. "Dan tidak, jangan ganggu Mom. Kalian tidak bisa menggapai kami bagaimanapun caranya. Saya hanya ingin memperingatkan, jangan dekati keluarga saya lagi."

Aku berdiri, mereka hendak menahanku tapi penjaga yang Kakek kirim sudah menghadang. Aku menatap nyalang, tak suka, benci. "Jangan pernah sekalipun mengganggu Mom. Sungguh. Jangan sekali-kali. Aku tidak bercanda."

"Kalian sudah terlalu dalam menyakiti Mom."

Aku mengambil langkah, bersama penjaga. Tepat di depan pintu kudapati Fahri—wajah bajingan itu kacau tapi aku tidak simpati. Aku lebih ingin menambah lukanya, semakin banyak itu akan lebih baik.

"Sudah kukatakan. Menyingkir kalian semua sialan. Jangan ganggu Mom."

Aku pergi dari tempat itu, terakhir kalinya memberi peringatan. Karena selanjutnya jika kakek menawarkan kembali bantuan, aku tak segan-segan mengambilnya. Menghancurkan mereka semua.

Bersambung ....

18 Mei 2024

The Way I Hate YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang