Amelie; yesterday you broke me

62 6 2
                                    

Aku berdiri di sudut pesta, terdapat perayaan mewah, lampu-lampu mahal yang menghias langit-langit hotel. Aula luas dengan marmer putih bersih, dekorasi mencolok— bunga-bunga buatan yang ganjilnya indah, orang-orang terus berhamburan membuatku semakin mual. Aku meneguk kembali minuman yang disodorkan pelayan, mengerutkan dahi menatap ke depan.

Pandanganku terus-menerus buram, di depan gadis manis dengan gaun merah mudanya tertawa menyambut tamu-tamu. Senyumnya lebar, polos, kulitnya bening serta pembawaannya sungguh manis yang tidak pernah kusukai. Di belakang, tepat di atas panggung terdapat poster besar, balon-balon putih di setiap sisi bertuliskan 'Pertunangan Keysa & Fahri', terdapat lambang cinta yang membuatku geli.

Kembali sekali lagi mengatur napas, aku meremas gaun merah yang kukenakkan. Aku menengadah menahan genangan air di pelupuk mata kembali menatap ke depan. Sebentar lagi tokoh utama tiba, aku harus menahannya. Sedetik kemudian sorak sorai terdengar, mengalihkan atensiku ketika sepasang kekasih bersama dengan dua cincin bertautan.

"Keysa, kau adalah cinta dalam hidupku. Aku berjanji, akan membahagiakanmu."

"Aku juga mencintaimu Fahri."

Tepuk tangan semakin riuh, kepalaku semakin sakit dan dadaku sesak. Di tengah hiruk-pikuk pesta, aku kembali meminum gelas-gelas lainnya semakin membuatku ingin muntah. "Fahri bajingan." Suaraku gemetar menahan isak tangis, kembali meremas gaun semakin erat ketika pemeran utama berciuman.

Aku tak kuat lagi, tanganku gemetar, tubuhku gemetar. Seluruh sel-sel dalam tubuhku mengempis lantas layu berhamburan membuat hatiku nyeri. Aku memang tak pernah dicintai— aku takkan pernah tahu apa itu cinta. Seperti Fahri, seperti Keysa, aku tak bisa mencintai atau dicintai. Seperti yang diajarkan keluargaku, itu semua benar.

Mataku yang terus mengembun kupaksa tak menangis, tak boleh. Tanganku gemetaran menyentuh perut lantas menatap kedepan, untuk sesaat aku dan Fahri bertatapan, dengan cepat dia mengalihkan pandangan. Hatiku menciut kembali. Walau semua itu hanyalah kesalahan, tapi itu semua bukan kesalahanku, pria itu juga pantas bertanggung jawab atas kejadian 'itu'. Tapi, aku bukanlah orang bodoh egois yang merampas pria orang lain. Ya, jika begitu sudah sepatutnya aku yang pergi.

Aku segera melangkah keluar, suara musik mulai menari-nari menghias perayaan, tawa bahagia menyebar, barangkali aku yang tak dapat memaknai kebahagiaan mereka. Tawa sumbang keluar dari bibirku, menatap miris perutku yang rata lantas terus menatap keluar. Dalam diagnosis terakhir, dikatakan janin dalam kandunganku sudah berusia tiga minggu. Gumpalan makhluk yang tercipta dari sebuah kesalahan yang membuat hidupku kacau berantakan.

Tak apa. Pada akhirnya aku memang tak ditakdirkan memilih takdirku, pada akhirnya aku tak dapat menjalani mimpiku, pada akhirnya mereka selalu benar, aku salah dan salah. Tak apa, semua masih bisa diperbaiki, aku dapat menjalaninya sendiri seperti yang lalu-lalu. Aku menghapus liquid bening yang mengalir di pipi, kasar dan cepat ingin segera pergi.

"El! Kau ingin pergi kemana? Acaranya belum selesai. Fahri itu sahabatmu, Nak. Kau ini mau kemana?"

Wanita tua dengan sanggul kuno, dengan pakaian adat khas menggenggam tanganku, matanya jelas mencemooh pakaian yang kukenakkan, tapi dia tak berkomentar. "Aku ada keperluan, Ibu. Aku akan segera kembali."

"Baiklah, segera kembali. Kalau tidak salah Fahri juga ingin mengatakan sesuatu. Ada yang ingin dia bicarakan padamu, entah apa."

"Aku segera kembali."

"Berhati-hatilah."

Aku tersenyum tipis, bahkan jika sudah diajarkan senyum palsu ribuan kali, dadaku semakin pengap, oksigen tak dapat masuk leluasa. Ketika tangan ibu terlepas, aku membuang wajah mulai kembali melangkah. Jadi akhirnya begini? Begini caranya aku pergi. Jika tak sesedih ini aku akan tertawa melihat bagaimana pencundangnya aku.

The Way I Hate YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang