Desa Sanpo, Yeoncheon gyeonggi-do.
Bus tujuan Seoul ke Yeoncheon sampai setelah menempuh 3 jam perjalanan. Sebuah desa kecil asri tempat Jennie dilahirkan dan tinggal.
Sebelas tahun merantau ke Seoul sebagai wanita malam, Jennie akhirnya bisa menghirup lagi udara segar desa Sanpo.
Pemandangannya masih sama. Tidak banyak berubah. Jalanan setapak tanah dengan semak belukar dan pohon-pohon besar disamping kanan dan kirinya menjadi ciri khas. Belum banyak infrastruktur dibangun sekitar sini. Pemerintahnya cukup abai hingga menyebabkan desa ini jauh ketertinggalan dari desa lain.
Langkah ringan wanita cantik itu diiringi senandung lagu. Dilihatnya rumah-rumah warga tetap sama sejak ia tinggal. Sampai pada akhirnya tiba di rumah kayu kecil tempat Jennie bernaung selama ini.
Kakinya berhenti berjalan tatkala menemukan banyak pria berbadan besar menarik keluar paman dan bibinya secara paksa.
"Hentikan!" Semua orang sontak menoleh ke arahnya. Jennie mendekat dan memeluk bibinya.
"Imo gwenchana?"
"Hiks Jennie-ya mereka mengusir kita"
"Usir? Ini kan rumah kita Imo mereka tidak berhak mengusir"
"Cogiyo, aku tidak tau siapa kamu tapi mereka berhutang padaku. Mereka tidak sanggup membayar jadi terpaksa rumah dan isinya kami sita" seorang pria tampan pemimpin dari preman itu angkat bicara. Mata Jennie berpindah padanya. Menelisik dalam penampilan pria di hadapannya.
"Kenapa harus kasar kan bisa dibicarakan baik-baik" ujar Jennie.
"Orang miskin seperti kalian memang harus dikasari kalau gak semena-mena" ingin rasanya Jennie memberikan jejak telapak tangannya dipipi pria angkuh itu. Kerumunan warga mulai mengerubungi untuk mencari gosip.
Jennie mengobrak-abrik isi tasnya. Beruntung uang hasil kerjanya semalam masih banyak. Setidaknya dapat mengurangi hutangnya.
"Di dalam ada 20 juta ku harap itu lunas" bibir pria itu mengukir senyuman miring kemudian mengangguk-angguk.
"Tetapi uangmu masih kurang. Total utang mereka semuanya 1 miliar" mendengar nominalnya Jennie mau pingsan. Paman dan bibinya tidak pernah jera berhubungan dengan rentenir.
"Kok bisa sebanyak itu Imo, bukannya setiap bulan ku kirim uang"
"Ahyeon dua bulan lalu masuk rumah sakit Jennie. dia di operasi dan biaya perawatan serta obatnya mahal jadi Imo gak punya pilihan selain meminjam uang dari tuan Kim"
"Kenapa gak bilang sama aku Imo" Jennie frustasi. Bibinya selalu sesuka hati membuat masalah dan menyeretnya ke dalam. Ujung-ujungnya nanti dia yang ganti.
"Imo gak mau ngerepotin kamu mulu. Imo tau kamu di kota juga susah"
"Udah-udah, aku muak mendengar ucapan kalian. Aku punya solusi untuk masalah ini" tuan Kim memberikan solusinya. Bibi dan Jennie menunggu harap cemas.
"Dia menikah denganku dan utang kalian akan ku anggap lunas jika dia melahirkan anak laki-laki untukku, bagaimana?" Bibi menatap Jennie sementara Jennie menatap dalam mata bibinya. Menyuarakan ketidaksetujuan dari pancaran mata itu.
"Aku gak mau Imo, aku janji bakal cari uang sebanyak mungkin untuk melunasinya"
"Oh jika begitu kau harus melunasinya dalam waktu 2 hari" tuan Kim membalas. Sangat berharap Jennie menjadi istrinya. Sejak pertama bertemu, matanya telah jatuh hati pada kembang desa seperti Jennie.
"Jennie-ya Imo mohon kali ini saja eoh lagipula kamu belum punya pasangan semenjak bercerai kan jadi apa salahnya?" Jennie menggeleng kecewa. Menggigit bibir bawah guna meredam emosinya. Walau bagaimanapun bibi adalah pengganti ibunya. Jadi dia tidak mau durhaka.
"B-baiklah tuan" tuan Kim tersenyum licik. Apa yang ia mau langsung dapat.
"Dua hari lagi kita menikah. Persiapkan dirimu" ucapnya kemudian pergi meninggalkan tempat.
"Imo aku takut"
"Tidak usah takut, dia pria kaya raya. Kau akan senang hidup bersamanya"
.
.
.
Di negara lain tepatnya Amerika Serikat. Lisa memandang malas Lim dan Diana yang datang berkunjung. Alasannya datang karena merindukan Lisa sampai mereka rela meninggalkan pekerjaan.
"Sampai kapan kalian disini"
"Kamu mengusir kami? Heol kejamnya. Baru beberapa jam kami sampai" jawab Limario dilebih-lebihkan.
"Aku disini bukan buat liburan tapi belajar jadi ngapain pakai ke sini segala sih"
"Emang salah kalau Daddy merindukanmu. Lagian kamu pas ditelpon gak diangkat, alasannya sibuk mulu"
"Ya memang sibuk. Aku disini kan kuliah" jawab Lisa ketus.
"Tapi gak sampai punya waktu juga buat jawab telponnya" Lisa memutar mata. Limario mengatakan tanpa beban seolah dirinya peduli.
Malas berdebat, Lisa ke kamar dan mengerjakan tugas-tugas kuliahnya yang menumpuk. Membiarkan dua orang dewasa itu melakukan apa saja di kost nya. Untung Lisa menyewa kost sendiri bukan berdua.
Saat Limario hendak mengambil air minum di kulkas, isi kulkasnya kosong cuma ada air putih. Dan ada 5 bungkus mie instan diatas meja dapur.
"Apa selama ini dia cuma makan ramyeon" gumam Limario iba. Konsumsi makanan Lisa sangatlah tidak sehat. Pantas saja tubuh anak gadisnya itu sekarang semakin kurus.
"Lisa-ya makan dulu nak" panggil Limario dari meja makan.
Tak berselang lama, Lisa datang dengan rambut dicepol dan kacamata baca. Rahangnya terjatuh saat melihat makanan diatas meja. Ini pasti ulah ayahnya. Limario memesannya satu jam lalu.
"Makan yang banyak eoh kamu kurusan" Limario memindahkan dagingnya ke piring Lisa dan tersenyum teduh memandang putrinya makan.
"Yeoubo, aku juga" pinta Diana tidak mau kalah.
"Ini, makanlah"
Seusai acara makan malam selesai, Limario dan Diana tidur di kamar sebelah sementara Lisa masih menonton tv bersama cemilan.
"Semoga saja besok mereka pulang" monolognya mematikan tv lalu masuk ke kamar.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Mom ✓
Hayran KurguKesalahpahaman membentang derita. Kim Jennie terpaksa meninggalkan suaminya tepat setelah ia melahirkan sang anak. Ada alasan dan kisah kelam dibalik kepergian Jennie yang dia tutupi. Bagaimana kehidupan Lisa tanpa sosok ibu disampingnya sementara L...