Chavali Elvarette, perempuan berambut hitam panjang dengan wajah tirus melewati hari tanpa sesuatu yang berarti. Hidupnya terasa flat sejak menginjak umur 25 tahun, tiga warsa yang lalu. Tak ada lagi target, keinginan, atau impian. Sejak gagal menikah, sepanjang 36 bulan itu, dia menjalani hari tanpa gejolak dalam hidup, terutama soal asmara. Baginya, hidup ini hanya perlu dijalani hingga napasnya terhenti.
Seperti hari-hari sebelumnya, Chavali melangkah pelan, memasuki gedung perkantorannya. Heels sepuluh cm yang dikenakannya seolah mengetukkan ritme hidupnya selalu sama. Pukul 7 lebih 10, dia masuk lift yang masih longgar, menghindari berdesakan dengan pekerja lainnya. Sampai di ruangan, tas diletakkan di meja, lalu menuju pantry untuk menyeduh kopi hitam dengan sedikit gula.
Begitulah pekerjaan pertama yang diselesaikannya begitu tiba di kantor. Tentu saja bukan untuknya, kopi hitam pekat dengan uap yang mengepul itu akan diantarkan ke ruangan bosnya, yang selalu saja sudah duduk manis di kursi, entah sejak kapan.
Chavali menghentakkan heels ke lantai sebagai ganti mengetuk pintu, sebab kedua tangannya telah memapah nampan berisi kopi. Dengan bahunya, dia mendorong pintu lalu meletakkan secangkir kopi itu tanpa banyak bicara. Lagi pula, Jarrvis Mahegas, bosnya itu, bukanlah pria yang banyak bicara.
Selama 4 tahun bekerja sebagai sekretarisnya, Jarrvis tak pernah bicara di luar konteks pekerjaan. Pria berbadan tegap dan berotot setinggi 187 cm itu, penuh aura walau tanpa banyak bicara. Chavali mengagumi bosnya yang memiliki wajah rupawan. Tapi hanya mengagumi, tanpa ada niat lebih. Jarrvis yang nyaris sempurna, tampan, berwibawa, tak banyak bicara, cekatan, disiplin, dan sukses dalam bisnisnya adalah sosok yang akan dikagumi siapa pun. Chavali senang bekerja sama dengan Jarrvis.
"Chav," panggil Jarrvis saat Chavali nyaris membuka pintu untuk keluar.
"Iya, Pak." Chavali membalikkan badan.
"Ada apa, Pak?" tanya Chavali lagi karena Jarrvis hanya diam dengan ekspresi ragu.
"Nggak jadi, kamu boleh keluar. Terima kasih kopinya."
"Iya, Pak. Permisi."
Merasa aneh, Chavali menoleh ke ruangan Jarrvis sekali lagi, walau pintu sudah tertutup rapat. Baginya, panggilan itu sangat aneh. Jarrvis tak pernah memanggilnya untuk hal yang tak penting. Tapi akhirnya diabaikan juga keanehan itu, memilih duduk dan membaca majalah hingga waktu kerja dimulai pukul 8.
Majalah fashion yang dibuka Chavali belum berganti halaman, tapi Jarrvis sudah memanggil via sambungan telepon di mejanya. Keanehan Jarrvis membuat perempuan itu mengerutkan kening sebelum masuk ke ruangan bosnya.
"Permisi, Pak."
Chavali duduk mengikuti instruksi bosnya. Dia duduk diam cukup lama karena Jarrvis sibuk dengan tab-nya. Diam-diam, dia mengamati pemuda di depannya itu. Bosnya terlihat semakin memesona dengan kaca mata yang bertengger manis di hidung mancung itu.
"Pak," panggil Chavali memberanikan diri karena sudah hampir setengah jam dia duduk dalam kesunyian.
"Tunggu," balas Jarrvis tanpa melihat.
Ruangan serba putih milik Jarrvis terasa lebih dingin dari biasanya. Chavali mengetuk-ngetukkan ujung sepatunya, membuang kebosanan. Untung saja dia sudah terbiasa dengan kesunyian sehingga keadaan seperti itu bukanlah masalah untuknya."Pulang kerja, kamu free?" tanya Jarrvis tiba-tiba setelah meletakkan tab-nya.
"Hah?" Chavali kaget.
Tak ada ulangan pertanyaan, hanya ada tatapan menunggu jawaban di wajah Jarrvis. Chavali bingung menjawab apa, karena tak terlalu mendengar pertanyaan itu.
Dipandangi terus-menerus walau dengan ekspresi datar, tetap saja membuat Chavali mendadak salah tingkah. Jarrvis memang jarang sekali bicara sembari menatapnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/346760655-288-k395993.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Office Romance
RomanceChavali adalah perempuan berusia 28 tahun. Meski sudah lebih seperempat abad, ia terlihat tidak tertarik dengan kehidupan percintaan dan lain-lain. Yang ia jalani hanya bekerja, bekerja, dan bekerja. Hal ini tentu membuat Mila, sahabatnya, ikut gere...