3

6.8K 550 10
                                    

Mata Chavali membuka perlahan, menyapu ke sekeliling dan berhenti saat melihat wajah Jarrvis. Dia berusaha mengingat sesuatu, dan hal terakhir yang diingatnya adalah pertanyaan Jarrvis. Chavali menelan salivanya.

"Sudah bangun? Perlu saya panggilkan dokter?" tanya Jarrvis.

"Saya di mana?"

"Di kamar."

Kening Chavali berkerut. Kamar?

"Kamar?!" ulang Chavali, dan refleks bangkit dari posisinya. Hidung perempuan itu tak sengaja membentur wajar Jarrvis cukup keras.

"Aw!!!" pekik Chavali. Hidungnya berdenyut saat membentur rahang keras milik Jarrvis. Ia mengusap-usap hidungnya. Sementara Jarrvis hanya diam tanpa ekspresi, menatap Chavali.

"Ini di kamar mana?" tanya Chavali lagi sembari menoleh ke sana kemari, lalu melihat kelengkapan pakaiannya.

"Butuh saya panggilkan dokter?" tanya ulang Jarrvis, mengabaikan pertanyaan Chavali.

"Saya mau pulang." Kini Chavali yang mengabaikan pertanyaan Jarrvis.

"Ayo," balas Jarrvis, bangkit dari posisi duduknya tanpa bantahan.

Pandangan Chavali kembali seolah berputar saat berusaha berdiri. Perutnya pun berbunyi pertanda lapar.

"Makanlah dulu, baru saya antar pulang," ucap Jarrvis sembari mendorong troli makanan.
Keadaan lapar, siapa yang akan menolak sajian lengkap makan malam di depan mata? Chavali makan tanpa perlu berpikir atau melirik si pembawa makanan. Dia lapar jadi wajar jika dia makan, itu saja yang terpikir olehnya.

Oh ya, satu hal lagi yang membuatnya masih bisa menjalani hari selain bernapas, makan. Chavali baru menambahkan poin dalam alasannya masih hidup, bernapas dan makan. Tak terasa, sajian yang diberikan padanya habis sudah. Menyisakan makanan yang memang tak disukainya, wortel.

"Pak, apa boleh saya pulang sekarang?" tanya Chavali setelah mengusap bibirnya pertanda telah selesai makan malam. Dia lupa tak menawari bosnya makan, dan penyesalan selalu datang terlambat. Apa yang akan dia tawarkan, jika hanya bersisa wortel?

Jarrvis hanya mengangguk. Menyerahkan tas Chavali yang tadi dibawanya lalu membuka pintu kamar, mempersilakan perempuan itu keluar terlebih dahulu. Dalam perjalanan pulang, keduanya saling diam. Dalam diamnya, Chavali menyimpan gelisah. Ingin berucap maaf tapi ragu. Sementara Jarrvis tetap tenang di balik kemudi.

"Pak, saya minta maaf telah mengacaukan acara. Saya juga minta maaf, tadi tak menawari Pak Jarrvis makan."

Akhirnya, kata-kata yang dipendam sejak tadi keluar juga dari bibir Chavali, saat mobil sudah menepi di depan lobi apartemen Diamond.

"Selamat malam," ucap Jarrvis sebagai isyarat bahwa Chavali harus segera turun dari mobilnya.

"Apa Pak Jarrvis sudah makan malam?" tanya Chavali pura-pura tak mengerti isyarat ucapan Jarrvis. Bagaimanapun, dia merasa sangat bersalah dan harus memperbaikinya. Tapi Jarrvis hanya menoleh menatap Chavali datar.

"Selamat malam, Pak. Hati-hati di jalan. Jika sudah sampai, kabari—" Chavali seketika menutup mulut dan buru-buru melepas sabuk pengaman. "Permisi," ucap Chavali, lalu keluar dari mobil tanpa basa-basi lagi.

Perempuan itu merasa aneh dengan dirinya sendiri. Kebiasaannya saat bersama Hanza seolah refleks dia lakukan lagi tanpa bisa dicegah. Dia menyesalinya, menutup mata dan mengembuskan napas panjang, sebelum melangkah masuk ke apartemen. Bagaimana dia harus bersikap besok pagi, saat bertemu kembali dengan Jarrvis?

***
Karena sulit tidur, Chavali harus berdesakan di dalam lift, pagi ini. Rutinitas teraturnya tak ada lagi. Pagi ini, dia sampai di kantor pukul 8 kurang 15 menit dengan napas memburu dan langkah yang lebar menuju pantry.

Office RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang