Baru kali ini Chavali merasa kikuk setelah sekian lama bekerja bersama Jarrvis. Di kamar hotel yang mewah, perempuan itu berdiri kaku menghadap bosnya. Hanya matanya yang bergerak ke sana kemari.
"Saya beri waktu 30 menit untuk bersiap-siap. Cukup?"
Seketika, Chavali menelan ludah. Matanya melebar kaget dan merasa terancam.
"Saya di kamar sebelah. Acara akan diadakan di ballroom hotel ini. Jika sudah selesai, hubungi saya," ucap Jarrvis lagi sebelum meninggalkan kamar.
Refleks, Chavali mendesah lega melihat pintu kamar ditutup dan hanya ada dia di kamar itu. Dia merasa bodoh karena sudah berpikiran buruk.
Matanya menatap takjub interior hotel. Untung saja, peringatan di otaknya berfungsi sehingga segera berhenti menikmati ruangan mahal itu. Dia hanya punya waktu 30 menit untuk bersiap-siap. Bergegas, Chavali mandi dan berganti pakaian. Sekali lagi dia takjub, kali ini pada pakaian yang melekat di tubuhnya. Luar biasa anggun.
Tak pernah dalam mimpinya, dia memakai pakaian rancangan desainer terkenal. Bahkan dia sudah lama tak punya impian, sebenarnya. Tapi, mendakak wajahnya murung. Pakaian indah itu mengingatkan tentang kebahagiannya yang sempat terenggut, yaitu saat acara pertunangannya dan rencana pernikahan yang akhirnya tak terlaksana. Masa lalu yang sudah dia kubur dalam-dalam. Di mana dulu, harapannya amatlah tinggi, menikah dengan orang yang dicintai dan memiliki keluarga bahagia.
Ketukan di pintu membangunkan Chavali dari kenangan masa lalu. Dia mengambil napas panjang sebelum membuka pintu. Saat pintu di buka, lelaki dengan setelan tuxedo memancarkan aura yang luar biasa. Chavali tertegun. Pun dengan lelaki itu, dia melihat perempuan yang sangat anggun dengan gaun hitam menjuntai panjang, terlihat semakin jenjang dan ramping.
Mereka berjalan beriringan menuju ballroom. Ketika Jarrvis memberikan kode kepada Chavali untuk menggandeng lengannya, perempuan itu mendadak jadi kikuk. Apalagi saat mereka memasuki ballroom di mana sudah banyak orang di sana. Chavali susah payah menelan saliva untuk mencairkan kegugupannya. Detak jantungnya berpacu lebih cepat. Kakinya jadi terasa berat untuk melangkah. Sentuhan Jarrvis di punggung tangan lembut itu membuatnya tersentak kaget. Kini, dia berdiri di samping Jarrvis dan di hadapan sekelompok orang asing yang menatapnya.
"Pak Jarrvis..." ucap Chavali, bingung dengan tatapan orang-orang. "Kenapa semua menatap ke sini? Bukankah itu orang tua Pak Jarrvis? Pak Dirga?" tanya Chavali dengan suara bergetar, tapi tak dijawab.
"Jarrvis, kenapa kamu membawa sekretarismu?" tanya Dirga Mahegas, papa Jarrvis. Pria tua dengan kumis tebal itu masih terlihat gagah di umurnya.
"Syaratnya hanya membawa pasangan, bukan?" balas Jarrvis dengan pembawaan tenangnya.
"Anakmu jelas lebih hebat darimu, Dirga," ucap Wirya, adik dari Dirga Mahegas.
Wajah Dirga tak terlihat seperti pria yang kalah dengan anak. Justru ekspresi kemenangan baru saja diperlihatkan.
"Aku tak masalah jika memiliki menantu secantik Chavali. Bukan begitu, Ma?"
"Tentu, Pa," balas Maheswari, mama Jarrvis dengan senyuman lebar.
Refleks, Chavali melirik Jarrvis. Tapi tak ada ekspresi selain wajah datar bosnya. Perempuan itu pun hanya diam dan tersenyum canggung. Senyum demi kesopanan, walau kepala bertanya-tanya tentang situasi saat ini.
"Jadi Chavali calon istrimu, Vis. Kalau begitu, jangan menunggu lama lagi. Tak inginkah kamu seperti papa dan mamamu?" tanya Wirya.
"Jadi mau diumumkan sekarang sekalian, setelah Papa dan Mama memotong kue?" tanya Dirga dengan senyum teramat lebar dan sorot mata menantang.
"Hari ini adalah hari bahagia Papa dan Mama. Jadi, Jarrvis tak ingin mengganggu," jawab sang anak.
"Mendengar hubungan kalian, juga merupakan hal membahagiakan. Tentu saja tak akan mengganggu," ucap Dirga.
"Chavali sekretarisku, Pa."
"Papa tak keberatan memiliki menantu seorang sekretaris. Apa Papa pernah memintamu harus memiliki calon istri anak presiden?"
Chavali berdiri dengan tangan yang mulai bergetar. Istri, menantu? Percakapan macam apa ini? pikir Chavali. Kepalanya mendadak pusing, dunia seolah berputar terlalu cepat. Tubuhnya nyaris terhempas jika Jarrvis tak menopangnya.
"Kamu sakit?" tanya Jarrvis yang masih menopang tubuh Chavali.
Orang-orang langsung mendekat begitu mendengar Maheswari panik melihat Chavali tiba-tiba saja terhuyung jatuh di pelukan Jarrvis. Lelaki itu menuntun Chavali duduk. Keringat dingin terlihat jelas di kening. Entah efek belum makan malam atau trauma dengan masalah yang menyinggung soal pernikahan. Hal itu sangat sensitif bagi Chavali yang pernah gagal menikah.
"Maaf, Pak. Tiba-tiba saya pusing. Saya tidak terbiasa dengan keramaian," ucap Chavali.
"Kamu masih pusing, Nak?" tanya Maheswari sembari mengusap wajah Chavali.
"Maaf, saya sudah membuat keributan. Saya tidak apa-apa, Bu," ucap Chavali, yang semakin malu karena menjadi sorotan orang-orang.
"Tidak apa-apa bagaimana? Kamu yakin? Wajahmu pucat."
Kekhawatiran Maheswari membuat perempuan muda itu tak enak hati. Dia benar-benar sudah merasa tak nyaman. Chavali melirik Jarrvis, berharap lelaki itu memahami tatapannya. Chavali hanya takut mengulang kejadian di masa lalu. Di mana orang tua Hanza, mantan tunangannya, sangat memedulikannya. Lalu berakhir dengan kekecewaan.
"Ma, biar Jarrvis yang urus. Sebaiknya Mama dan Papa segera memulai acara. Kasihan, para tamu sudah menunggu. Ini hari bahagia Mama dan Papa, hari ulang tahun pernikahan kalian. Jangan membuat mereka tak nyaman."
"Tapi Chavali bagaimana?" tanya Maheswari, masih memasang wajah khawatir.
"Chavali itu tanggung jawab Jarrvis. Mama percaya pada Jarrvis, bukan?"
"Baiklah," balas Maheswari. "Jika ada apa-apa, segera katakan pada Jarrvis, ya?" ucap Maheswari pada Chavali dan dibalas anggukan.
Ekspresi Chavali perubah sedikit santai saat Maheswari dan Dirga tak lagi terlihat oleh pandangannya. Jarrvis mengerutkan kening mendapati perubahan ekspresi Chavali."Mau minum manis?" tanya Jarrvis.
"Pak, ini acara apa sebenarnya?" tanya balik Chavali.
"Ulang tahun pernikahan orang tua saya."
"Lalu kenapa saya di sini?"
"Karena saya mengajak kamu."
"Iya, tapi kenapa mengajak saya?" tanya Chavali dengan nada lebih keras.
"Karena hanya kamu perempuan yang saya kenal dan bisa saya ajak ke sini," jawab Jarrvis tanpa perubahan intonasi.
Chavali kehabisa kata-kata. Bicara dengan orang yang bicara hanya seperlunya benar-benar membuat bingung. Harusnya dia suka dengan hal seperti ini, tanpa basa-basi. Tapi Jarrvis berbeda. Chavali butuh jawaban panjang kali lebar untuk hal yang terjadi saat ini. Hal yang membuatnya mendadak migrain.
Malam ini benar-benar menyita energinya yang belum mendapatkan asupan makan malam. Chavali ingin segera pulang dan berkutat dengan acara televisi kesukaannya.
"Terima kasih atas kedatangan rekan-rekan sekalian, dan doanya. Di hari bahagia kami, kami juga mendapat kabar bahagia dari anak semata wayang kami, Jarrvis Mahegas. Anak kami yang sudah tak bisa lagi dikatakan muda itu, akhirnya akan menikah juga. Jarrvis, Chavali kemarilah!" seru Dirga dengan suara lantang dan nada bicara yang teramat bahagia.
Chavali dan Jarrvis saling tatap lalu melihat ke podium, tempat orang tua Jarrvis berdiri. Kaki Chavali seketika lemas. Mimpi buruk apa dia semalam?
"Pak..."
"Sebaiknya saya ke depan."
"Tapi, Pak."
"Kamu masih pusing?"
"Sangat."
"Duduk saja, biar saya yang ke depan."
"Jangan," seru Chavali menarik tangan Jarrvis.
"Kenapa? Kamu mau jadi istri saya?"
"Hah?"
Seketika semua terasa gelap. Chavali pingsan dan membuat Jarrvis bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Office Romance
Roman d'amourChavali adalah perempuan berusia 28 tahun. Meski sudah lebih seperempat abad, ia terlihat tidak tertarik dengan kehidupan percintaan dan lain-lain. Yang ia jalani hanya bekerja, bekerja, dan bekerja. Hal ini tentu membuat Mila, sahabatnya, ikut gere...