12

4K 411 106
                                    

Popcorn, minuman soda, tiket, dan pria tampan. Chavali duduk menunggu pintu studio dibuka, dengan kaki yang terus bergerak. Waktu seolah berjalan lambat. Sepuluh menit berasa sepuluh tahun.

Chavali menyedot minumannya, lalu tersedak sendiri saat melihat wajah Jarrvis dari samping. Hidungnya terasa pedas seketika. Pria yang duduk di sebelahnya langsung mengambil alih minumannya dan mengusap punggung Chavali.

"Sudah lebih baik?" tanya Jarrvis. Chavali pun mengangguk sembari mengambil napas panjang lalu melepaskan perlahan, berulang kali. Barulah dia merasa benar-benar baik. Tapi hal itu tak berlangsung lama karena Jarrvis menarik wajah Chavali.

Kini, tak hanya karena tersedak minuman, wajah Chavali memerah karena kedua tangan Jarrvis menangkup wajahnya.

Pria itu mengamati dengan saksama, mencari kebohongan di wajah Chavali. Tapi yang terlihat hanya wajah merah dengan mata yang menghindari tatapannya. Jarrvis pun menjauhkan tangan dan berdehem, membuang rasa kikuk yang tiba-tiba datang.

"Pintu sudah dibuka. Ayo, masuk," ajak Jarrvis.

"Ya." Chavali ikut bangkit dari kursi. Bergerak kaku seperti robot.

Ruangan gelap, hanya ada cahaya dari layar. Berulang kali Chavali melirik sebelahnya. Dia sama sekali tak bisa konsentrasi dengan film yang sedang diputar. Jarrvis mencuri perhatiannya, bahkan di ruangan yang gelap. Siluet hidung mancung pria itu sukses membuatnya gelisah di kursi. Dia teringat saat tragedi seat belt yang membuat mereka berakhir dengan perasaan canggung, bahkan hingga tadi pagi.

Chavali menyenderkan punggungnya, mencoba rileks, walau nyatanya sama sekali tak bisa. Bahkan, film komedi yang terpampang di layar tak membuatnya tertawa. Dia tetap teringat terus dengan hidung mancung Jarrvis yang hampir menyentuh hidungnya dan berefek debaran abnormal di jantungnya.

"Kamu nggak suka?" bisik Jarrvis tiba-tiba dan mengagetkan Chavali.

"Suka," jawab Chavali terbata. Bulu kuduknya meremang mendapatkan sensasi dari bisikan Jarrvis.

"Saya mendengarmu mengembuskan napas berat berkali-kali."

"Maaf," bisik balik Chavali mendekatkan wajahnya di telinga Jarrvis.

"Kenapa?"

"Keluar aja, ya?" Pinta Chavali.

Walaupun sempat heran dengan permintaan itu, Jarrvis pun menurutinya. Sampai di luar, Chavali berjalan lebih cepat, menjaga jarak sebentar sembari mencoba mengembalikan kesadarannya. Tapi Jarrvis malah menarik pergelangan tangannya.

"Mau ke mana?"

"Toilet, ya toilet. Sebentar," jawab Chavali salah tingkah, lalu lari menuju toilet.

Di toilet, dia bersandar di balik pintu, memegang dadanya kuat. Malam indahnya jadi kacau karena pikirannya sendiri.

Bagaimana ini? Bagaimana bisa, aku punya perasaan aneh ini? Kenapa baru sekarang?Apa bedanya Jarrvis yang dulu dengan sekarang?

Chavali mengetuk-ngetukkan keningnya ke dinding toilet. Lalu mendesah. Barulah dia keluar dan merasa bersalah karena sudah membuat antrean yang mengular.

Dari jauh Chavali melihat Jarrvis yang berdiri menunggunya. Jarrvis dengan posturnya yang tinggi, kemeja santai dengan celana jeans, terlihat lebih muda dari biasanya. Mungkin ini yang membuatnya terpesona sejak tadi.

"Maaf, bikin nunggu."

"Tidak masalah. Mau ke mana lagi sekarang?"

"Turun aja, ya. Makan, gimana?" tanya Chavali.

Office RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang