5

5.3K 538 19
                                    

Lampu kamar sudah berubah menjadi nyala redup. Chavali berbaring miring di kasur dengan tangan di bawah pipi. Musik akustik mengalun menambah suasana melow.

28 tahun, tak bisa lagi disebut remaja. Tapi Chavali tak lagi memiliki hak untuk memilih masa depannya. Kesempatannya telah pergi, saat dia salah memilih pasangan hidup. Chavali teringat kembali pada Hanza. Lelaki yang ia pacari hingga nyaris menjadi suami.

Hingga saat ini, Chavali tak menemukan pembenaran atas pilihan Hanza mengkhianatinya. Tapi dia berusaha melupakannya setiap detik.

Kini, dia pasrah jika harus menikah dengan pria pilihan orang tuanya. Lagi pula, baginya hidup tetap sama, menjalani hari hingga waktunya dia berhenti bernapas. Mengalir seperti air tanpa memikirkan sesuatu yang belum terjadi. Dengan siapa pun dia lewati, akhirnya akan sama, berpisah. Entah oleh maut atau pengkhianatan.

Chavali menguatkan hati yang awalnya ragu dan ingin hidup sendiri. Dia hanya perlu menyetujui, dan bertemu dengan calon pilihan papanya. Entah nanti Kafa menerimanya atau menolak, Chavali hanya akan diam tak membantah.

Chavali mengubah posisi tidurnya. Kembali membaca pesan singkat Jarrvis yang sempat ia abaikan. Tangannya mengetik pesan balasan. Dia tahu, pesannya tak akan berbalas lagi. Tapi malam ini, dia mengharapkan seseorang menemaninya.

To: Pak Jarrvis
Saya sudah baik-baik saja. Maaf untuk kekacauan yang saya perbuat tadi pagi.

Besok saya akan berangkat ke kantor karena saya ingin mengajukan cuti.

Tak selang lama, telepon dari Jarrvis masuk. Chavali langsung mengubah posisinya menjadi duduk sebelum menjawabnya. Dia masih merasa sedikit tak percaya Jarrvis meneleponnya.

"Halo," sapa Chavali ragu.

"Halo. Kamu tidak perlu mengajukan surat cuti. Silakan beberapa hari ini kamu libur. Urusan kantor sudah saya bicarakan dengan Damar."

"Hah? Kenapa tiba-tiba saya disuruh cuti, Pak?"

"Kamu bilang tadi mau mengajukan cuti, bukan? Saya menyetujuinya."

"Tapi bukan minggu ini, Pak."

"Terserah kamu, mau cuti kapan. Tapi minggu ini, sebaiknya kamu tidak muncul di kantor. Mengerti?"

"Tapi, Pak. Jika nanti saya cuti lagi untuk mengurus pernikahan, saya bisa kena teguran dari HRD."

"Pak..." panggil Chavali karena tak ada sahutan dari seberang.

"Kapan kamu mau menikah?"

"Belum tahu, Pak. Itu pun kalau orang itu mau. Saya sudah pernah mempermalukan orang tua saya. Jadi saya sekarang menurut saja dijodohkan," jawab Chavali yang lupa jika sedang bicara dengan bosnya.

"Semoga lancar. Jangan ke kantor besok pagi!" balas Jarrvis lalu menutup sambungan telepon terlebih dahulu.

Sekelebat Chavali berharap Jarrvis bisa membantu. Tapi dia akhirnya menyadari kebodohannya, berharap pada sesuatu yang mustahil.

***

Pagi dengan suasana yang berbeda, duduk bersama kedua orang tuanya. Chavali sangat menyukainya. Jika bisa melakukan hal ini setiap hari, dia rela menikah dengan siapa pun.

"Chavali," panggil Baskoro setelah sarapan mereka selesai.

"Ya, Pa?"

"Papa pikir, kemarin hanya selentingan biasa. Tapi hari ini, wajahmu ada di sini. Sebelum Papa membicarakan lebih lanjut dengan Om Waluyo, jelaskan pada Papa tentang berita ini!"

Chavali menerima majalah yang disodorkam padanya. Majalah itu menampilkan sosok Jarrvis sebagai pengusaha muda yang sukses. Tapi ada tulisan berwarna merah maroon sebagai salah satu hot news. Walaupun kecil, tapi itu menyita penglihatan karena warnanya mencolok.

Office RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang