19

3.8K 426 18
                                    




"Kenapa juga, Mas mau sama saya, kalau nggak suka sama saya?"

Jarrvis terus terngiang-ngiang oleh pertanyaan balik Chavali. Dia bahkan sempat melebarkan matanya tadi. Kemauannya untuk menikah dengan Chavali memang memiliki alasan kuat saat itu. Keputusan tercepat yang pernah dia ambil tanpa berpikir panjang ke depan. Tapi dia tidak menyesal setelahnya.

Damar menyenggol lengannya dan dia kembali pada kenyataan bahwa sedang meeting akhir dengan Persada, bersama pria yang disukai calon istrinya.

"Ya. Ini meeting akhir, tapi bukan berarti berakhir. Kita tinggal menunggu hasilnya. Senang bekerja sama dengan Anda dan perusahaan Anda," ucap Jarrvis, menyalami Kafa.

"Sama-sama, Pak Jarrvis. Semoga semua lancar dan kita terus bisa bekerja sama," balas Kafa, menerima jabatan tangan Jarrvis.

Keduanya tersenyum puas dengan kerja sama mereka. Tidak ada rasa ben k dengan Kafa karena Jarrvis adalah pengendali diri terbaik. Baginya, kerja dan urusan pribadi adalah hal yang berbeda. Hatinya boleh tak suka Kafa dekat dengan Chavali, tapi terhadap kerja sama mereka, Jarrvis tidak akan menyangkutpautkan perasaannya. Bekerja sama dengan Kafa memang menyenangkan karena termasuk tipe orang yang juga profesional, seperti dirinya.

Jarrvis meninggalkan tempat meeting lebih dulu. Dia ingin segera kembali sampai di kantor sebelum Chavali pulang. Jarrvis tidak ingin membiarkan Chavali pulang dengan taksi, apalagi bersama Kafa. Dia akan lebih pengertian demi hubungan mereka yang baru akan dimulai.

"Buru-buru lagi?" tanya Damar.

"Ya."

"Jemput calon istri?"

"Wajib," jawab Jarrvis.

"Aku masih belum menemukan chemistry di antara kalian. Bahkan kalian masih menggunakan sapaan saya kamu. Aku masih tidak menyangka, kamu bersikap seperti ini setiap meeting di luar," ucap Damar sembari menyamakan langkah Jarrvis yang lebar-lebar.

"Mulai sekarang, percayalah. Ini nyata."

"Percaya bahwa kamu menyukai Chavali? Sejak kapan? Bahkan kamu hanya peduli dengan pekerjaan dan tidak pernah sedikit pun membahas Chavali selama bertahun-tahun. Di kepalamu hanya berisi pekerjaan dan kopi hitam," ucap Damar, menunjuk kepalanya sendiri.

Jarrvis berhenti, menoleh pada Damar sebelum masuk mobil.

"Anggaplah sejak detik ini. Ayo, pulang!"

Jarrvis tidak ingin membahas lebih lanjut soal perasaannya. Meskipun yang bertanya adalah Damar yang notabene kepala sekretaris sekaligus teman satu-satunya. Dia tak biasa membahas masalah pribadi dengan siapa pun. Dan perasaannya bukan konsumsi publik.

Jarrvis mengetikkan pesan pada Chavali karena jalanan ternyata begitu rapat walaupun gedung perkantorannya di depan mata. Menurut perhitungannya, dia akan sampai di kantor lebih dari jam 5, jika mobil tetap tidak bergerak begini.

"Apa aku perlu lari dari sini?" tanya Jarrvis.

"Kalau ingin Chavali tidak lari dibawa orang, sepertinya itu ide brilian," jawab Damar dengan nada bercanda, tapi Jarrvis menanggapi dengan serius.

"Baiklah, aku turun di sini," ucap Jarrvis lalu memasukkan ponselnya, tidak jadi mengirimkan pesan. "Tolong bawakan berkas-berkasku. Aku akan langsung pulang." Dia keluar dari mobil diiringi seruan Damar yang semakin keheranan dengan sikap Jarrvis belakangan ini. Tapi Damar tak bisa berkutik karena dia sedang mengemudi.

Jarrvis menyeberang jalan, melewati sela-sela mobil yang berhenti karena macet. Dia melepas jasnya, gerah oleh udara lembab, tanda akan turun hujan. Sembari berlari, dia menggulung lengan kemejanya yang mulai basah oleh keringat.

Office RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang