26

3.1K 346 5
                                    

Didiamkan dua hari itu siksaan lahir batin. Chavali benar-benar mendiamkan Jarrvis, bahkan di kantor. Jika dulu Jarrvis tak terpengaruh apa pun yang dilakukan Chavali, sekarang berbeda.

Tapi dia tak tahu cara memperbaikinya. Jarrvis tak bisa merayu Chavali, tak tahu bagaimana cara memulainya.

Jarrvis sebenarnya terganggu oleh Hiva, tapi tak mau ambil pusing. Dia lebih memikirkan, bagaimana cara memperbaiki hubungan yang baru seumur jagung dengan Chavali.

Sore ini, sepulang rapat di luar, Jarrvis tak langsung pulang. Dia memilih duduk di kafe hotel tempatnya rapat. Menikmati secangkir espresso dengan langit gelap karena hujan yang tak kunjung reda, sejak pagi.

Jarrvis mengetikkan pesan pada Chavali, berharap dibalas.

To: Istriku
Makan malam di luar, ya?

Lima menit, tak ada balasan. Jarrvis menyesap kopinya perlahan. Dia benar-benar berharap Chavali membalasnya. Tak mungkin mereka seperti ini terus hanya karena salah paham. Jarrvis tahu, Hiva hanya ingin membuat dia dan Chavali bertengkar. Dia yakin, tes kehamilan itu pun bukan milik Hiva. Tapi Jarrvis juga memahami jika Chavali marah. Hubungannya dengan Chavali belum terlalu sedekat untuk saling percaya.

Di tempat lain, Chavali memandang ponselnya cukup lama. Membaca berulang-ulang pesan Jarrvis. Sebenarnya, dia sudah tak semarah kemarin. Chavali pun ragu dengan keyakinannya tentang Hiva dan Jarrvis, jika melihat bagaimana suaminya yang selama ini dia kenal. Sekarang, dia justru takut Jarrvis benar-benar jauh darinya.

Chavali juga telanjur patah hati. Lebih tepatnya kecewa. Dan dia tak tahu, bagaimana cara memulai lagi dari awal. Keberaniannya telah hilang.

Tatapannya pindah ke kaktus yang semakin banyak di mejanya. Kaktus terakhir yang dia dapatkan dari Jarrvis dengan pot warna biru bertuliskan Jarrvis berjejer dengan kaktus bertuliskan Chavali.

"Letakkan ini di sini. Biar selalu berdekatan."

"Mas beli di mana?"

"Di tempat biasanya, dan ini saya yang pilih, bukan Damar."

"Makasih."

Chavali mengusap sudut matanya yang basah mengingat tentang tiap detik waktu yang singkat bersama Jarrvis. Harusnya dia bersikap seperti kaktus, menjaga hatinya dengan keras, seperti duri yang tumbuh di badan kaktus. Siapa pun yang berusaha menyakitinya, akan terluka lebih dalam dari dirinya. Tapi Chavali tak bisa bersikap seperti itu pada Jarrvis. Dia mengetikkan pesan balasan.

To: My Husband
Iya. Jemput sekarang juga.

Tak butuh waktu lama, ponsel Chavali berdering. Panggilan masuk dari Jarrvis.

"Halo," sapa Jarrvis.

"Halo."

"Kamu masih di kantor?"

"Iya."

"Saya jemput. Kita makan malam di luar."

"Iya. Cepat, nggak pakai lama!"

"Siap! Love you."

"Hah?" Chavali membelalak kaget. Dia ragu dengan pendengarannya. Tapi ingin menanyakannya, Jarrvis sudah memutuskan sambungan.

Jantung Chavali berdetak lebih keras dari biasanya. Mendadak salah tingkah dan bingung sendiri. Dia segera memasukkan barang-barangnya ke dalam tas.

Dia tak sabar memeluk Jarrvis. Sebenarnya, mendiamkan Jarrvis berhari-hari juga siksaan baginya. Bagaimanapun kecewanya, dia tetap menyukai Jarrvis dan seolah tak bisa lepas dari sosok suaminya.

Office RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang