Pernikahan semakin di depan mata. Chavali merasakan ketegangannya. Dalam kondisi seperti ini, ia lebih senang menyendiri. Dan tempat pilihannya adalah kafe. Entahlah, di sana dia bisa menenangkan hati dan pikiran yang semakin semrawut. Hatinya mulai berubah rasa, hingga memberikan efek kesal pada diri sendiri.
Ingin jujur tapi sama saja mempermalukan diri sendiri, ketika Jarrvis tidak menganggapnya lebih. Chavali tak pernah membayangkan akan jadi seperti ini. Hatinya yang tak pernah berharap lagi dan tak punya mimpi, kini memiliki rasa untuk Jarrvis. Bos sekaligus calon suaminya yang santai dan tak memiliki rasa padanya.
Bayangan tentang hidup bersama dulu, kini berbeda. Dia bingung, bagaimana harus bersikap setelah menikah dan harus berada dalam satu atap. Bagaimana jika perasaannya yang masih samar ini menjadi semakin nyata karena selalu bersama di kantor dan di rumah. Chavali bingung sendiri.
Chavali berpangku tangan mengingat kejadian pagi tadi.
"Ini kopinya, Pak."
"Terima kasih."
Jarrvis mengangkat kepala, memindahkan fokus matanya ke arah Chavali yang masih berdiri.
"Ada apa?"
Ingin sekali Chavali menjawab dengan menarik tangan Jarrvis untuk menyentuh dadanya yang berdebar, agar Jarrvis mengerti keadaannya tanpa perlu dijelaskan. Tapi itu tak mungkin dilakukan.
"Ada apa Chavali?"
"Mau makan siang apa?" tanya Chavali, asal.
"Apa pun yang kamu makan siang ini."
"Apa aja?" tanya Chavali yang kini berharap Jarrvis mengajaknya makan siang bersama.
"Iya."
"Chicken?" tanya Chavali.
"Boleh."
"Beef?"
"Terserah kamu. Apa pun saya mau. Sebenarnya, kamu mau tanya apa?"
"Kita jadi nikah kan, Pak?" Chavali kaget sendiri dengan pertanyaan bodohnya. Bagaimana bisa dia tiba-tiba tanya hal itu. Sementara Jarrvis yang biasanya berwajah datar, jadi mengerutkan kening.
Chavali mendesah, bahunya melorot. Hari ini dia benar-benar aneh, dan dia menyadarinya. Chavali menangkup wajah dengan kedua tangan, lalu menyeruput taro frape-nya. Merasa malu telah berbuat konyol.
"Ketemu lagi," seru Kafa.
"Oh, hai."
"Sendirian lagi?" tanya Kafa.
"Ya."
"Pacar?"
"Eeee... di rumah."
"Boleh duduk sini?"
"Silakan," jawab Chavali.
"Apa kabar?"
"Baik."
"Kenapa sendirian aja? Bukan nunggu hujan reda, kan?"
"Lagian kan, nggak hujan," jawab Chavali.
"Nah itu, takutnya nunggu hujan padahal langit cerah. Bisa mati bosan."
"Nunggu pencerahan sambil minum es taro, jadi nggak akan kebosanan."
"Dan ada aku sekarang," sambung Kafa.
"Ada urusan lagi dengan Pak Damar?" tanya Chavali.
"Nggak. Niat biar bisa ketemu lagi dengan seseorang. Aku mau menagih janji."
KAMU SEDANG MEMBACA
Office Romance
RomanceChavali adalah perempuan berusia 28 tahun. Meski sudah lebih seperempat abad, ia terlihat tidak tertarik dengan kehidupan percintaan dan lain-lain. Yang ia jalani hanya bekerja, bekerja, dan bekerja. Hal ini tentu membuat Mila, sahabatnya, ikut gere...