"Mas?" Chavali terperanjat kaget melihat Jarrvis lagi-lagi berdiri di depan kafe.
"Sudah mau pulang?"
Melihat ekspresi datar Jarris, seketika Chavali ingin meluapkan semua emosi padanya. Chavali memukul-mukul dada Jarrvis sembari menangis. Lupa dengan orang-orang di sekitarnya.
"Mas dari mana saja? Katanya mau menghubungiku?"
"Kenapa menangis? Seseorang menyakitimu? Siapa?"
Mendapatkan pertanyaan seperti itu, Chavali berhenti memukul. Dia lelah menghadapi Jarrvis saat sudah jatuh hati seperti ini.
Saat Jarrvis mengusap air matanya, semakin nyeri di ulu hatinya. Dia kehabisan kata-kata. Apa yang senenarnya ada dipikiran Jarrvis? Kasihan? Peduli? Atau memiliki perasaan yang sama dengannya?
"Kamu mau pergi ke suatu tempat? Atau mau langsung pulang?"
Dihirupnya udara malan ini cukup lama, lalu mengembuskan perlahan. Ditinggalnya Jarrvis begitu saja. Keinginan untuk minta maaf pun luntur bersama air matanya. Cukup dia yang merasakan sakit malam ini. Dia tak sanggup mendengarkan kebenaran bahwa Jarrvis tetaplah hanya menganggapnya seorang sekretaris.
"Mobil saya di sana," ucap Jarrvis, meraih bahu Chavali dan membimbingnya.
Seperti biasa, Chavali memainkan kaca jendela. Dia sedang tidak ingin bicara, suasana hatinya sedang tidak baik.
"Ini mau langsung pulang?"
Pertanyaan Jarrvis hanya angin lalu, bibir Chavali tertutup rapat. Perempuan itu sama sekali tak bergerak dari posisinya.
"Yakin tidak mau ke mana dulu, hmm?" Tangan Jarrvis terulur, mengusap kepala Chavali, kemudian dibalas dengan tolehan.
"Jangan pegang-pegang kepala saya."
"Suasana hatimu sedang tidak baik. Yakin mau langsung pulang?"
Lagi-lagi Chavali mengabaikan pertanyaan Jarrvis. Dia malah melamun dengan pandangan kosong ke luar jendela. Harusnya dia meminta maaf, tapi telanjur merasa kesal dengan sikap Jarrvis.
Chavali kaget ketika tiba-tiba Jarrvis membuka sabuk pengamannya. Dia menoleh.
"Mau turun atau di mobil saja?"
"Ini di mana?" Chavali melihat keluar, gedung tinggi sebuah apartemen mewah. "Tunggu," seru Chavali ketika Jarrvis bukan menjawab pertanyaannya tapi malah keluar dari mobil.
"Ayo." Jarrvis membukakan pintu lalu menggandeng tangan Chavali lagi. "Kenapa? Saya tidak boleh pegang?" tanya Jarrvis pada Chavali yang terus melihat ke arah tangannya. Jarrvis pun melepas tangan lembut itu dan rasa kecewa langsung menyusup relung hati Chavali.
Chavali menunduk mengikuti Jarrvis, memasuki apartemen Sparkling. Menekan kuat-kuat kekecewaannya.
"Silakan masuk. Tunggulah di sini. Mau minum apa?"
Chavali menggeleng dan memilih duduk, masih sibuk dengan pikirannya. Dia mendesah, dia harus kuat. Bukankah dia sudah bertahun-tahun menghadapi kelakuan bosnya?
Chavali mengangkat kepalanya, lalu bingung, panik menyerbunya. Matanya menyapu ke seluruh sudut ruangan, sepi. Tidak terdengar ada penghuni. Chavali bergidik ngeri. Bangkit mencari Jarrvis karena seingatnya pria itu yang membawanya.
"Mas, mas..." panggil Chavali. "Aaaaaaa..." jerit perempuan itu karena menyengol pot bunga dan membuat benda ringkih itu berantakan. Dia semakin panik melihat hasil ketidaksengajaannya.
"Ada ap—" ucapan Jarrvis terhenti ketika matanya melihat apa yang terjadi.
"Menjauhlah. Biar nanti saya yang rapikan. Kamu duduk saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Office Romance
RomanceChavali adalah perempuan berusia 28 tahun. Meski sudah lebih seperempat abad, ia terlihat tidak tertarik dengan kehidupan percintaan dan lain-lain. Yang ia jalani hanya bekerja, bekerja, dan bekerja. Hal ini tentu membuat Mila, sahabatnya, ikut gere...