Segelas cola dingin merelaksasikan sedikit keruwetan hari ini. Tak bekerja di weekday membuat Chavali bingung harus melakukan apa. Dia tak punya persiapan untuk itu. Jadi, di sinilah Chavali, sekarang. Di kamar serba putih dan minimalis.
Dia berinisiatif untuk tidur saja, tapi tak ada rasa kantuk. Diliriknya jam dinding dan memandangnya cukup lama. Biasanya, jam 12 lebih 30 menit Chavali sedang memesankan makan siang untuk Jarrvis. Tapi sekarang, dia di sofa kamar tak melakukan apa pun, dan resah sendiri.
Ponsel putih di meja berbunyi, dia segera menghampiri, melihat layarnya. Nama Papa terlihat, Chavali mengerutkan kening. Baskoro, papanya menghubungi lagi? Chavali ragu menjawabnya. Seolah tak percaya dengan penglihatannya.
"Halo."
"Bagaimana kabarmu?"
Tangis Chavali pecah mendengar Baskoro menanyakan keadaannya. Sudah tiga tahun dia tak berhubungan dengan orang tuanya, sejak membuat malu keluarga karena batalnya pernikahan. Chavali meninggalkan rumah dan tak pernah berani pulang.
"Pa—"
"Kapan kamu pulang? Ada yang ingin Papa bicarakan."
Rindu, Chavali teramat rindu suara tegas yang dulu sering didengarnya. Terakhir dia mendengar adalah saat suara itu melemah karena serangan jantung yang menyerang tiba-tiba.
"Papa tunggu di rumah, pulanglah setelah pulang kerja."
Suara perintah itu menjadi penutup sambungan. Chavali sama sekali tak sakit hati, dia hafal dengan sikap papanya yang tegas dan tak banyak bicara. Dia menangis bahagia. Akhirnya, sang papa mau menghubunginya lagi setelah sekian lama. Chavali bergegas menyeka air mata dan bersiap untuk kembali menapaki rumah yang dulu jadi tempat berlindungnya.
***
Saat akhirnya taksi berhenti tepat di depan gerbang sebuah rumah berpagar tinggi, jantungnya berdetak semakin cepat. Chavali mengambil napas panjang sebelum turun. Kakinya gemetar saat melangkah masuk. Tak banyak yang berubah, juga taman itu, tempat dulu dia merenung di malam hari. Masih ada kursi merah kesayangannya dan pohon ketapang yang rimbun.
Mata Chavali memanas kala mengetuk pintu rumahnya. Dia rindu rumah dan seisinya. Saat pintu terbuka dan memperlihatkan sosok perempuan paruh baya yang sangat dia rindukan, Chavali tak mampu lagi membendung air matanya. Dia memeluk erat Hesta, mamanya yang terlihat lebih kurus dari terakhir dia lihat.
"Chavali, sayang."
"Ma..."
Lama Chavali dan Hesta saling berpelukan, meleburkan rindu yang telah lama menggunung. Selama ini, bukan maksudnya tak ingin bertemu sang mama, tapi dia takut pada Baskoro. Jika sang papa belum memberinya kesempatan, dia tak akan memaksa.
"Papa menghubungimu?" tanya Hesta.
"Iya, Ma. Mama sehat?"
"Mama sehat. Kamu bagaimana?"
"Chav baik-baik saja, Ma."
"Maaf ya, Sayang. Mama nggak bisa di dekatmu saat kamu butuh teman."
"Nggak apa, Ma. Chav baik-baik saja. Mama bisa lihat, kan?"
Hidup dengan didikan keras membuat Chavali bisa melewati hari sampai saat ini, walau dunia seakan runtuh saat gagal menikah dan harus keluar dari rumah. Ketika Baskoro mengatakan sesuatu, maka semua harus mengikutinya, tak ada yang berhak membantah. Baskoro tipe orang tua yang otoriter, walau Chavali adalah anak satu-satunya.
"Ma, Papa di mana? Masih di kantor?"
"Iya, Papa belum pulang. Apa kamu tidak bekerja? Kenapa jam segini kamu bisa ke sini?"
"Aku izin, Ma. Apa Papa mengatakan sesuatu pada Mama?"
"Nggak ada, Chav. Dia hanya bilang, kamu akan pulang. Itu saja. Ada apa?"
"Nggak apa, Ma. Chav rindu sekali sama Mama."
"Mama juga, Sayang. Ayo, masuk. Kamu sudah makan siang?"
Chavali mengangguk, walau aslinya dia belum makan siang. Yang dia butuhkan saat ini hanya memeluk mamanya selama mungkin. Entah apa yang akan dibicarakan papanya, nanti. Yang terpenting, dia bisa bertemu mamanya lagi, tanpa harus merasa takut sang papa mengetahuinya.
Chavali masuk ke kamarnya dulu, kamar dengan aksen warna pink di tiap sudut ruangan. Kasurnya dulu, pernak-pernik vintage kesukaannya masih terpajang dengan cantik. Kamar yang sungguh berbeda dengan kamarnya saat ini yang tanpa hiasan.
"Istirahatlah di sini, sembari menunggu Papa."
"Temani aku di sini, Ma," ucap Chavali seraya memeluk lengan Hesta.
***
Ruang keluarga terasa dingin ketika hati tengah mendamba pelukan, tapi hanya ada tatapan datar untuk Chavali. Sudah terbiasa dengan hal seperti ini, dia menahan air matanya. Bukan dengan Jarrvis, kali ini dia berhadapan dengan Baskoro, papanya yang terkenal dingin. Tak pernah berubah, dan anak gadis semata wayang itu pun telah terbiasa menghadapinya.
"Bagaimana kabarmu?"
"Baik, Pa. Papa sehat? Chav minta maaf, Pa."
"Sudah makan?" tanya Baskoro tak menjawab pertanyaan putrinya.
"Sudah, Pa."
Terdengar hembusan napas berat lolos dari bibir Baskoro.
"Kemarilah!" perintah Baskoro, lalu memeluk erat Chavali.
"Papa..." Chavali kembali menangis tersedu.
Tak ada yang lebih indah dari hari ini. Bisa memeluk kembali kedua orang tuanya.
"Maafin Chav, Pa."
"Sampai kapan kamu mau jadi anak keras kepala, hah?" seru Baskoro.
"Maafin Chavali, Pa. Udah bikin Papa Mama malu."
Sebenarnya bukan hanya karena pembatalan pernikahan yang membuat Baskoro terpaksa mengusir Chavali. Malu jelas, karena undangan sudah tersebar. Tapi alasan pembatalan pernikahannyalah yang membuat Baskoro naik pitam, hingga serangan jantung ringan mendera lalu mengusir putrinya.
Chavali tak pernah mau jujur pada papanya. Menutupi alasan pembatalan pernikahan yang dilakukan Hanza, hingga orang di luar sana beranggapan bahwa Chavali dan keluarganyalah yang bermasalah. Mantan mempelai perempuan itu tetap membela mantan calonnya, bahkan sampai saat ini. Dia tak pernah membeberkan alasan sebenarnya. Bukan karena cintanya yang besar, tapi terlebih karena rasa kecewanya yang mendalam. Dia tak ingin menaruh dendam atau apa pun. Chavali sudah kehilangan segalanya sejak Hanza memutuskan untuk meninggalkannya.
"Papa tidak akan menanyakan hal yang sudah berlalu. Papa ingin membicarakan pernikahanmu," ucap Baskoro yang telah melerai pelukannya.
"Pernikahan?" ulang Chavali.
"Ya. Kafa, anak Om Waluyo menanyakanmu. Papa ingin kamu menikah dengannya."
Seketika Chavali mematung. Menikah? Kafa? Dia tak ingin menikah, apalagi dengan orang yang tak dia kenal.
"Tinggallah lagi di sini. Papa tidak mau kejadian yang lalu terulang. Mengerti?"
"Tapi, Pa..."
Baskoro menatap kedua mata Chavali pertanda tak ingin dibantah. Chavali pun menunduk pasrah walau hati menolak tegas.
"Atau kabar kamu hamil dengan bosmu itu benar? Karena itu kamu menolak?"
"Chav nggak hamil, Pa!" ucap Chavali dengan nada tegas dan pandangan heran. Bagaimana bisa papanya beranggapan dia hamil?
"Berhentilah membuat masalah, Chav. Secepatnya kamu harus menikah."
Belum sempat Chavali membalas ucapan papanya, Baskoro sudah bangkit dari sofa. Bahu Chavali melorot, menatap sendu pada Hesta. Tak ada yang bisa menolongnya. Pergi dari rumah berarti siap tak bisa lagi memeluk mamanya.
Chavali berjalan gontai menuju kamar. Merebahkan badan, berselancar dengan ponselnya mencari kesibukan. Lalu pesan masuk dengan nama Pak Jarrvis muncul di layar.
From: Pak Jarrvis
Jangan berangkat kerja dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Office Romance
RomansaChavali adalah perempuan berusia 28 tahun. Meski sudah lebih seperempat abad, ia terlihat tidak tertarik dengan kehidupan percintaan dan lain-lain. Yang ia jalani hanya bekerja, bekerja, dan bekerja. Hal ini tentu membuat Mila, sahabatnya, ikut gere...