18

3.6K 394 14
                                    




Setiap hari yang dilewati, sejak Jarrvis mengambil keputusan menikah, seolah terus mengusiknya untuk selalu membuka mata dan mengingatnya. Memintanya untuk berpikir ulang, tapi hati bicara jangan.

Setelah kemarin malam terjadi, malam ini kembali terulang. Jarrvis melihat keberadaan Chavali di Kafe Coffee melalui ponselnya. Seusai urusan di luar, Jarrvis pun kembali ke kantor. Dia ingin memastikan sesuatu. Banyak alasan untuk menikahi Chavali, tapi tidak ada satu pun alasan untuk membatalkan, kecuali calon mempelai perempuan yang menginginkan.

Langkahnya semakin cepat mendekati Kafe Coffee, bahkan dengan setengah berlari. Ingin memastikan lebih cepat. Jarrvis berhenti saat melihat Chavali keluar dan kaget melihatnya.

"Mas." Terlihat raut wajah kaget, dan Jarrvis sudah terbiasa dengan ekspresi itu.

"Mas dari mana saja? Katanya mau menghubungiku?" seru Chavali sembari menangis dan memukul-mukul dadanya.

"Kenapa menangis? Seseorang menyakitimu? Siapa?" Jarrvis tak bisa melihat perempuan menangis, apalagi Chavali. Jarrvis ingat dengan jelas, kali pertama melihat Chavali menangis adalah setelah pernikahannya batal. Sering sekali matanya terlihat sembab, dan saat itu Jarrvis hanya bisa menjadi pengamat.

Kali ini, dia tak bisa hanya jadi pengamat, dia harus menghadapi perempuan yang menangis itu. Jarrvis  melirik ke arah pintu dan mendapati Kafa berdiri di sana. Jarrvis pun mengusap pipi Chavali, mencoba menenangkan walau tak tahu caranya. Diusapnya lagi air mata Chavali. Mata bulat itu sendu menatapnya. Tebersit keinginan mengecup mata itu. Menghapus tiap kesedihan di sorot mata itu, tiba-tiba.

"Kamu ingin pergi ke suatu tempat? Atau mau langsung pulang?"

Tak menjawab, Chavali malah meninggalkannya. Jarrvis tidak mengerti apa yang ada di kepala perempuan itu. Ingin sekali dia menarik ke pelukannya, tapi kemudian sadar akan kapasitasnya.

Suasana hati Chavali benar-benar tidak baik dan Jarrvis memahaminya. Karena itu, Jarrvis memilih tak bertanya lebih banyak lagi dan membawa Chavali ke apartemennya. Sebab, dia tidak ingin mengantar Chavali pulang dengan wajah yang sembab. Akan ada banyak pertanyaan untuknya dan Chavali, jika Baskoro melihat putrinya habis menangis.

Duduk berdua di dalam apartemen sembari menonton TV menjadi hal luar biasa bagi Jarrvis. Biasanya, TV di ruang santai hanya jadi pajangan semata. Dia lebih menyukai menonton TV di kamar. Kali ini, Jarrvis bersama calon istrinya di ruangan santai, menonton programa TV. Sedangkan dia lebih tertarik mengamati Chavali. Sebelumnya, dia tak pernah seberani ini mengamati terang-terangan. Ada magnet yang membuatnya untuk terus menatap wajah Chavali dari sisi samping. Hidung yang kecil tapi runcing, bibir yang tipis, hingga tebersit rasa ingin menyentuhnya.

Kening pria itu berkerut ketika perempuan yang sedang diamati menyenderkan kepala di bahunya. Jarrvis tak bisa berkutik walau jantungnya berdebar hebat. Rupanya, tamunya itu sudah memejamkan mata.

"Pinjam bahunya sebentar ya, Mas," gumam Chavali.

"Hmm..." balas Jarrvis, dan dia kaget saat mata bulat Chavali membuka. Mata mereka bersibobok dan seketika, kesunyian terdengar seperti alunan musik klasik. Pelan namun pasti, keduanya semakin mendekat hingga sebuah ciuman manis menghipnotis seluruh ruangan. Meluapkan beban masing-masing dan menyisakan manis endapan rasa.

Kata orang, ciuman pertama tidak bisa dilupakan, tapi tidak bagi mereka. Meski ini kali kedua, luapan rasa memiliki kadar yang sama dengan ciuman pertama. Mungkin juga akan seterusnya. Setiap detail peristiwa sebelum saling menularkan hangat melalui bibir, seperti adegan film yang bisa kapan saja diputar kembali. Mereka bisa lupa tentang apa saja, tapi tidak urusan cinta. Sebab, rasa itu benar-benar lahir dari hati yang tulus.

Office RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang