"Kamu paham dengan ucapmu, bukan?"
"Iya, Pak. Maaf, saya lancang. Saya pikir lebih baik menikah dengan Pak Jarrvis, daripada dengan orang yang tidak saya kenal."
"Apa arti menikah buatmu?" tanya Jarrvis yang sempat kaget dengan ucapan Chavali.
Tak mau lama menunggu, Jarrvis memegang pergelangan tangan Chavali dan membawanya masuk kembali ke ruangan. Dirga sudah menunggu cukup lama.
"Pa, kami akan menikah."
"Bagus. Jangan terlalu lama jadi pengecut. Ajaklah Chavali makan malam di rumah," ucap Dirga sembari menepuk bahu Jarrvis.
"Sampai jumpa, Chavali," ucap Dirga pada Chavali sebelum pergi dan tidak lupa melemparkan senyum lebar.
Kini, tinggallah bos dan sekretarisnya di ruangan itu. Duduk saling berhadapan. Jarrvis diam menunggu penjelasan Chavali.
"Jadi kita akan menikah, Pak? Benar?" tanya Chavali dengan raut wajah bahagia seolah menemukan penyelamat.
"Kenapa ekspresimu begitu?"
"Karena saya bahagia."
"Menikah dengan saya, kamu bahagia?" tanya Jarrvis yang tak percaya.
"Iya. Makasih, Pak Jarrvis mau menolong saya. Dengan begini, saya tidak perlu menikah dengan pria yang dijodohkan orang tua saya."
Senyum tipis terlihat di wajah Jarrvis, tapi senyum itu tak bertahan lama.
"Saya akan bilang pada Papa bahwa Pak Jarrvis serius dengan saya. Sebenarnya, saya kemari karena ingin membicarakan hal ini. Papa memaksa saya untuk memberi keputusan. Papa melihat berita di majalah karena kejadian malam itu."
"Jadi, apa alasanmu, mau menikah dengan saya?"
"Karena saya bisa membayangkan, akan seperti apa jika saya menikah dengan Pak Jarrvis. Saya biasa berinteraksi dengan Bapak. Papa mirip sekali dengan Bapak, jadi saya terbiasa hidup dengan pria dingin. Maksud saya, dengan pria yang tak banyak bicara. Saya bisa memahami. Sedangkan jika saya menikah dengan pria pilihan Papa, saya harus membiasakan diri dengannya dan harus berbasa-basi. Itu sulit untuk saya."
"Jadi itu alasanmu. Kamu nggak berpikir saya keberatan punya istri kamu?"
Chavali menyeringai, menyadari kebodohannya lagi. Dia kehilangan otaknya, tiba-tiba. Chavali menunduk, meminta maaf berulang kali. Jarrvis hanya diam, lalu mengambil napas pajang.
"Kemari naik apa?" tanya Jarrvis.
"Saya? Taksi."
"Pulanglah. Saya akan meminta sopir mengantarmu."
"Lalu soal tadi bagaimana, Pak? Maafin saya ya, Pak, sudah lancang."
"Pulang dan bersiaplah makan malam dengan saya. Nanti saya jemput jam setengah 7 tepat."
"Jadi, Pak Jarrvis mau menikah dengan saya? Benar, Pak? Ah, makasih Pak, makasih," seru Chavali seraya meremas punggung tangan Jarrvis.
***
Senyum Chavali masih terus mengembang sampai di rumah. Dia lupa bahwa menikah bukan hal sepele. Tapi pemikirannya tentang menikah tak lagi sama seperti dulu. Dalam bayangannya, menikah hanya sebuah proses di mana statusnya berubah tanpa mengubah kebiasaannya. Karena dia merasa sudah terbiasa menghadapi Jarrvis.
Tak ada lagi bayang atau impian tentang keluarga baru hasil pernikahan. Hal itu sudah lenyap dari bayangannya bertahun-tahun.
"Bagaimana, sudah bertemu Jarrvis? Sepertinya Mama melihat gurat bahagia di wajahmu," tanya Hesta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Office Romance
RomansaChavali adalah perempuan berusia 28 tahun. Meski sudah lebih seperempat abad, ia terlihat tidak tertarik dengan kehidupan percintaan dan lain-lain. Yang ia jalani hanya bekerja, bekerja, dan bekerja. Hal ini tentu membuat Mila, sahabatnya, ikut gere...