Duduk di kursi roda dengan perasaan hancur, Chavali menatap kosong langit yang mulai berubah warna. Hanya dalam hitungan menit, semua berbanding terbalik. Bahagianya telah berganti. Dua hari di rumah sakit tak membuat perasaannya membaik, hanya luka luar saja yang mengering. Tidak dengan hatinya.
Chavali tahu, dia masih bisa berjalan. Sementara waktu hanya bisa menggunakan kursi roda atau tongkat, tetap saja membuatnya sedih. Apalagi setelah tahu, siapa yang telah dengan sengaja menabrak mobilnya. Rasanya kecewa pada Jarrvis, marah yang teramat besar. Andai dari awal dia memperkarakan Hiva, maka semua ini tak akan terjadi. Bisa saja dia meninggal waktu itu. Andai Jarrvis tak selalu membela Hiva, hatinya tak akan terluka seperti ini. Bahkan ini lebih sakit dari pengkhianatan Hanza padanya.
"Masuk, ya? Dingin," ucap Jarrvis yang sudah Chavali diamkan sejak tahu Hivalah penyebab kecelakaan.
Jarrvis bersimpuh di hadapan Chavali, menggenggam tangannya. "Aku minta maaf. Aku sudah mengurusnya."
"Apa harus menunggu aku mati, baru Mas mengurusnya? Seberapa berharganya dia buat Mas?"
"Maaf. Aku janji akan jagamu."
"Aku nggak butuh janji," balas Chavali, lalu membuang muka.
"Hiva sekarang koma. Dia nggak akan melukaimu lagi."
"Bela dia terus saja, Mas. Aku bisa sendiri."
Chavali berusaha memutar kursi rodanya. Bagaimanapun, keadaan Hiva sekarang tak membuat sakit hatinya hilang. Sakit hati dan kecewa. Ternyata, dia juga tak memiliki tempat di hati Jarrvis. Dia kembali teringat saat pertama kali terbangun, semua tubuhnya seolah mati rasa. Hanya ada rasa takut luar biasa. Apalagi setelah tahu, Hivalah pelakunya. Perasaannya tak bisa lagi digambarkan.
Jika dulu dia selalu berusaha mengusahakan segalanya sendirian, kini tak ada lagi daya yang tersisa. Saat ini, seolah ada sesuatu yang dicabut dari raganya dengan paksa. Chavali ingin sendiri, tanpa Jarrvis.
"Chav..."
"Aku sudah berkata berulang kali. Aku bisa sendiri. Lepaskan tangan, Mas."
"Kamu boleh marah, tapi jangan abaikan aku."
Chavali bungkam. Bukan ingin balas perlakuan Jarrvis, tapi hanya ingin sendiri. Merenungkan segalanya. Sesuatu yang dia pikir akan indah karena sebuah harapan mulai tumbuh, tapi nyatanya mengecewakan. Keyakinannya sirna. Menjadi sesuatu di hati orang lain, tak semudah dia menempatkan seseorang di hatinya.
"Chav..."
Chavali mengangkat wajahnya, menatap tajam Jarrvis yang memasang wajah sendu. Chavali tak tersentuh dengan ekspresi yang tak pernah dia lihat sebelumnya dari seorang Jarrvis. Dia telanjur marah. Andai Jarrvis bersikap tegas sebelumnya, hal ini tak akan terjadi. Tapi nyatanya, dia tak lebih berharga dari cinta pertama Jarrvis.
"Aku mau kita pisah."
"Chav, jangan bicara sembarang," ucap Jarrvis. Kali ini dengan nada tegas.
"Aku serius. Mas boleh pergi, sekarang."
"Aku nggak mau."
"Terserah," balas Chavali, lalu melajukan kursi rodanya lagi.
"Jangan terpaku pada hal yang telah berlalu. Tapi ayo, cari solusinya, Chavali. Jangan seperti ini."
"Solusinya kita pisah," ucap Chavali tanpa menghentikan laju kursi rodanya.
"Aku minta maaf. Aku salah," seru Jarrvis, tapi diabaikan Chavali.
Tak ada lagi ruang di hatinya yang masih baik, semua sudah runtuh. Air mata mengalir begitu saja di pipi Chavali. Ingin sekali berteriak, tapi dia menahannya bersama luka yang dia rasakan. Mungkin orang lain akan menganggapnya berlebihan dengan apa yang telah dialaminya. Tapi setiap orang punya kapasitasnya masing-masing dalam menghadapi masalah. Chavali terpukul dengan kejadian ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Office Romance
RomanceChavali adalah perempuan berusia 28 tahun. Meski sudah lebih seperempat abad, ia terlihat tidak tertarik dengan kehidupan percintaan dan lain-lain. Yang ia jalani hanya bekerja, bekerja, dan bekerja. Hal ini tentu membuat Mila, sahabatnya, ikut gere...