Tidak ada lagi pertemuan kedua dengan Hanza. Damar sudah mengambil alih tugasnya. Chavali merasa lega. Ketika menghindar jadi solusi terbaik, maka dia akan melakukannya. Bukan karena tak bisa move on, tapi jika tak ada manfaatnya berinteraksi lagi, untuk apa dilakukan?
Baginya, Hanza bukanlah siapa-siapa meskipun pernah ada kenangan bahagia. Kenangan bahagia hanyalah kenangan yang buruk saat dikenang ketika pengkhianatan menjadi luka.
Chavali senang, Jarrvis memahaminya tanpa perlu banyak menjelaskan. Chavali tahu, mengindari seorang klien karena urusan pribadi tentu bukan sikap profesional. Dia bukan butuh waktu untuk melupakan, tapi butuh tak bertemu lagi dengan Hanza.
"Chav, Chavali," panggil Damar untuk ketiga kalinya.
"Siang, Pak Damar."
"Kamu sedang melamunkan apa?"
"Tidak, Pak. Di mana Pak Jarviss?" tanya Chavali yang tidak melihat Jarrvis, padahal Damar pergi bersama Jarrvis untuk bertemu Hanza.
"Pak Jarrvis menyuruh saya kembali lebih dulu."
"Oh..."
"Dia menitipkan ini untukmu."
"Terima kasih, Pak." Chavali menerima tas kertas bermotif batik.
Selepas kepergian Damar, Chavali membuka titipan itu. Kaktus berjenis mammillaria dengan bunga berwarna pink kecil, cantik. Chavali melirik kaktus di mejanya, berjenis pachycereus tak berbunga. Dia menjejerkan kaktus itu dengan kaktusnya dan baru menyadari ada tulisan tertera di pot. Diangkatnya lagi kaktus baru itu dan membaca tulisannya.
Chavali
Senyum Chavali terukir lebar. Tak menyangka, Jarrvis begitu manis. Perempuan itu bukan kolektor kaktus, tapi saat ini, dia teramat senang mendapatkan tanaman mungil itu.
"Siang."
"Ah, siang, Pak," balas Chavali, kaget. Lalu buru-buru meletakkan kembali kaktusnya ke meja.
Saat akan mengucapkan terima kasih, Jarrvis sudah masuk ke ruangannya. Chavali menutup mulut, tak jadi bicara. Dia pegang dadanya yang berdebar. Ini pasti efek kaget, pikirnya.
Tapi ternyata, debaran itu manjadi semakin nyata ketika matanya melirik ke ruangan Jarrvis. Sebentar lagi dia akan menikah. Seketika gelisah membuncah, membayangkan harus melewati masa itu lagi. Memesan pakaian, memilih undangan, suvenir. Pandangan matanya menjadi kabur oleh kristal air mata yang menumpuk di pelupuk mata.
Buru-buru Chavali menengadah mencegah air matanya turun. Mengibaskan tangannya ke wajah berulang kali.
***
Hujan di bulan November mulai sering menyapa. Sebenarnya, Jarrvis sudah mulai rutin mengantarnya pulang, tapi sore ini tidak. Chavali juga menolak diantarkan sopir dengan alasan akan pulang dengan Mila. Sebenarnya dia hanya ingin pulang sendiri, mengunjungi tempat yang sebulan ini tak dia datangi. Kafe di pojokan yang letaknya masih satu wilayah dengan gedung kantornya, Kafe Coffee. Hanya butuh jalan kaki beberapa meter, dia bisa sampai di sana.
Chavali menengadah melihat hujan yang tak kunjung reda. Mendesah dan bahunya melorot pertanda putus asa.
"Mau bareng?"
Chavali menoleh. Pria tinggi dengan kemeja biru tersenyum dan menawari tumpangan payung.
"Mau ke mana?" tanya pria itu.
"Saya mau ke sana." Chavali menunjuk Kafe Coffee.
"Sama kalau begitu. Mau bareng?"
Chavali terlihat berpikir cukup lama, hingga akhirnya mengangguk. Lagi pula hujan sepertinya terlalu bersemangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Office Romance
RomanceChavali adalah perempuan berusia 28 tahun. Meski sudah lebih seperempat abad, ia terlihat tidak tertarik dengan kehidupan percintaan dan lain-lain. Yang ia jalani hanya bekerja, bekerja, dan bekerja. Hal ini tentu membuat Mila, sahabatnya, ikut gere...