22. Julia: Cruel Morning

286 16 8
                                    

JULIA
"Cruel Morning"

○●○

Bangun ....

Bangun.

Bangun!

Julia, BANGUN!

MATAKU TERBUKA DENGAN cepat, terkesiap dengan udara yang terasa mencekat. Jantungku terasa seperti aku baru saja bekerja rodi, tiap detaknya aku merasa darah seperti ingin muncrat keluar dari otak menuju ke tenggorokanku yang terasa tandus seperti gurun dengan kerak di permukaannya.

Duduk di pinggir kasur, aku memijat kening untuk meredakan pusing yang dengan cepat menyambutku, mungkin aku butuh zat besi lebih banyak agar aku tidak gampang pusing setiap habis berbaring.

Aku menundukkan kepala, mengusap air yang turun di pipi sebelum menarik ingusku untuk mencegahnya keluar. Meraba bantal, aku ingin memastikan bahwa aku tidak mengotori kasur Theo dengan keringat dan air mataku.

Aku harap ia tidak melihatku dan mimpi burukku, akan sangat canggung saat mengetahui bahwa aku meneriakkan nama Rowan dalam tidur. Aku masih merasa bersalah, aku masih tidak berani mengunjungi makamnya. Rasanya aku merupakan partner yang buruk bagi Rowan, aku menyesalinya setiap hari dalam tidur. Ia satu-satunya hal yang membuatku untuk tetap berusaha.

Semuanya masih terasa asing. Tidak ada pesan suaranya, tidak ada panggilan teleponnya, tidak ada foto tiket dan dirinya di depan gedung opera, tidak ada suaranya yang membantu menenangkanku saat aku gugup sebelum tampil di panggung dengan ribuan orang-orang dan juga kritik yang menonton.

Setiap aku bermimpi, aku memikirkan tentang semua hal buruk yang terjadi dalam asumsi realitaku saat aku bangun. Saat aku tidur, semuanya tidak lagi terasa seperti mimpi; semuanya terasa sangat nyata, dan itu menakutkan bagiku.

Dengan tangan bergetar, aku mengambil ponsel yang ada di nakas, tersambung dengan kabel cas yang tidak aku pasang tadi malam. Lengan dan punggungku masih terasa nyeri karena mengangkat semua boksnya tadi malam, aku harap tidak ada memar yang terlihat saat aku mengenakan kostum balerinanya.

Sekarang pukul enam, aku punya satu jam untuk bersiap-siap dan memastikan bahwa para MUA dan juga desainernya punya banyak waktu untuk mengatur semuanya. Acara perdanaku di tur akan dimulai pukul sebelas siang. Salah satu cara bagiku untuk tidak melupakan jadwalku adalah memasang sekitar dua puluh alarm pembantu agar aku tidak melewatkan tur tariku.

Aku berdiri, melenturkan otot-ototku sebelum memperhatikan seluruh kamar tidur Theo. Tidak ada banyak hal di sini, pintunya tidak tertutup sehingga dari luar aku dapat melihat sofa dan selimut yang berantakkan hingga menyentuh lantai. Twyla dan Torrent ada di atasnya, menggulung diri mereka bersama seperti bola berbulu yang menggemaskan. Aku lega mereka tidak merasa terintimidasi tempat baru ini, meskipun ruangnya tidak selebar apartemenku, Theo masih punya apartemen yang nyaman, hanya saja perlu lebih banyak furnitur dan elemen-elemen lain yang membuatnya nampak hidup.

Samar-samar aku mendengar beberapa barang yang berdenting bersamaan. Bau roti panggang juga menusuk hidung sehingga membuat perutku bersuara. Dengan ragu aku keluar dari kamar, mengendap-endap ke ruang tamu yang berhadapan langsung dengan dapur untuk menemukan Theo yang berdiri memunggungiku tanpa pakaian yang menutupi tubuhnya. Handuk kecil yang ada di pundaknya menutupi tato yang memenuhi seluruh bagian punggungnya. Burung albatros dan juga lukisan abstrak di sekelilingnya menyembunyikan kulit asli pria tersebut yang terlihat timbul.

Satu bekas goresan, dua bekas goresan, tiga, empat, lima; semuanya acak dan membuatku nyeri saat melihatnya.

Aku berjalan mendekat, melihat lebih jelas tato yang menutupi punggung dan kedua lengannya. Ada tato dua garis melengkung yang muncul dari tengkuknya, terlihat baru karena aku melihat merah di sekitarnya.

Heart Shatter [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang