7. Theo: The Protector's Banter

269 23 14
                                    

THEO
"The Protector's Banter"

○●○

HIASAN VALENTINE MEMENUHI jalanan Midtown sore hari ini. Aku menemukan diriku berada di kafe sambil menyesapi kopi milikku yang isinya tinggal seperempat.

Arloji di tanganku masih berdetik, setiap putaran detiknya membuatku bertambah bosan dan tidak selera. Jangan salahkan aku, pekerjaan hari ini di restoran sudah membosankan, aku tidak ingin terjebak dengan kata "membosankan" setiap hari.

Aku sempat beranjak dari kursi untuk pulang sebelum Gabby duduk di hadapanku dengan tatapan bosan di matanya. Kami berdua tidak berkata apa-apa. Setelah insiden minggu kemarin, aku memilih untuk menghabiskan waktu di halaman belakang bersama Dany untuk membantunya menyelesaikan furnitur kayu yang sedang ia kerjakan untuk klien.

"Apa yang kau mau?" gumam wanita tersebut dengan pasrah.

Hembusan napas mencakup seluruh isi oksigen yang aku tahan di dalam tubuh sejak adikku itu duduk di hadapanku setelah menghabiskan waktu seminggu tidak menjawab panggilanku.

"Gab ... aku hanya tidak ingin kau—"

"Terluka? Menangis? Sengsara?" sahutnya dengan mata bergetar. "Theo ... aku sudah keluar dari fase itu sejak lama. Kau juga kenal Lukas sejak kita ada di akademi bersama. Dia tahu apa yang terjadi dengan kita berdua; aku memastikan bahwa aku sudah siap untuk membangun keluarga bersamanya." Gabby mengetukkan jarinya ke meja penuh urgensi, membuatku terus fokus kepada ucapannya ketimbang menghabiskan waktu menatap jendela.

"Aku tahu ... aku tahu ..., aku hanya tidak menyangka jika—semua ini berjalan terlalu cepat." Aku menjambak rambut frustasi, menundukkan wajah untuk menghindari matanya yang sedih.

"Theo, kita berdua sudah berumur tiga puluh. Semuanya yang terjadi di akademi ... dan yang ada di rumah sudah usai lebih dari satu dekade lalu." Gabby menjelaskan. Aku dapat mendengar suaranya yang menekankan untuk membantuku memahami.

"Aku hanya tidak ingin kau tersakiti lagi. Aku tidak mau melihatnya lagi." Aku akhirnya menatap matanya dengan keterbukaan.

Gabby tersenyum kecil sebelum ia melirik lenganku yang penuh dengan tato, sebuah tirai untuk menutup semua bekas luka dan garis menonjol yang menyembunyikan situasi kami selama ini. "Aku tahu, tapi dapat aku pastikan bahwa aku baik-baik saja. Jika ada sesuatu, aku akan mengatakan yang sejujurnya kepadamu—aku juga berharap yang sama denganmu." Ia menatapku khawatir, aku melihat tangannya yang mengelus perutnya sebentar sebelum wajahnya meringis nyeri.

"Apa selalu sakit?" Aku melirik perutnya.

"Lukas dan aku pergi ke dokter kandungan kemarin, katanya normal untuk trimester awal." Gabby menatapku meyakinkan. Ia kembali memperhatikanku dengan wajah familiarnya. Satu-satunya keluargaku, dan aku berjanji kepada diriku untuk membuatnya senang selalu.

Aku memandang jendela entah berapa lama, memperhatikan wajah-wajah asing yang melintas jalanan sambil tertawa. Satu hal yang aku pahami dari seorang manusia adalah kami bukan makhluk sempurna, ada banyak pertumpahan darah yang terjadi di dalam diri kami tanpa sepengetahuan orang lain. Tugas kami di dunia hanyalah untuk menggantikan arena perang tersebut dengan dataran rumput yang penuh satwa dan kehidupan.

Aku belum menemukan diriku. Rasanya aku masih tersesat di dalam ruang tamu rumah saat usia kami masih lima belas tahun. Suara teriakan dan tangisan Gabby saat Ibu dan ayah mencoba untuk memukulnya, lalu aku yang mendorong mereka jauh dari Gab dengan kepala pening dan tubuh rusak akibat sabuk yang menempel pada kulit beberapa kali.

Alasannya hanya sederhana. Kami tidak membawa upah pekerjaan kami kepada mereka tepat pada waktunya.

Aku kadang masih dapat merasakannya ... botol bir dengan kaca yang menancap di lengan, serta sabuk kulit yang mengenai punggung tanpa kainku. Bau alkohol yang keluar dari bibir mereka berdua. Tangisan Gabby. Ya Tuhan ... aku tidak ingin mendengar tangisan histeris adikku itu lagi selamanya.

Heart Shatter [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang