2. Julia: The Special Girl

1K 42 4
                                    

JULIA
"The Special Girl"

○●○

"Till this moment I never knew myself." — Jane Austen.

KELABU WARNA MENUTUPI sebagian besar Manhattan. Matahari yang awalnya meliputi seluruh tempat kini bergantikan dengan cahaya penerangan yang secara berkala memenuhi semua ruangan.

Mataku mengerjap membiasakan, kembali memperhatikan jendela kecil yang ada di hadapanku sebelum memperhatikan orang-orang yang mulai mengeluarkan jas hujan dan payung mereka. Beberapa berlari di trotoar, sepatu hitam mengkilap mereka tertutup lumpur dan air hujan yang menggenang di saluran air gagal.

Tubuhku menggigil. Aku menggosok lenganku beberapa kali sambil menggigit bibirku yang kering. Tanganku dengan refleks mengelupas kulit bibirku, meringis saat seluruh tubuhku dipenuhi dengan perih dan rasa darah.

Mataku melirik sekeliling ruangan, ada sekitar lima belas wanita yang punya tujuan sama denganku. Dengan pakaian leotard mereka, kami semua punya tujuan yang sama di dalam studio. Musim ke-56 Teater Balet New York. Tidak menyangka jika ini merupakan tahun keenam aku berada di perusahaan ini. Aku pikir aku akan meninggal karena betapa tragisnya jalan hidupku semenjak aku kecil dan belum pandai berjalan.

Hidup untuk menari, itu merupakan suatu deskripsi yang aku berikan kepada diriku sendiri. Di usia tiga tahun, Julia kecil sudah dicekoki banyak pengetahuan tentang balet, utamanya dari ibu sendiri, mengingat ia juga pernah ikut balet di tempat tinggalnya dulu di Prancis sebelum ia cedera. Katanya hanya aku yang dapat menggantikan legasinya di panggung-panggung nasional dan internasional.

Jadi aku melakukannya sampai sekarang, meskipun ada banyak amarah dan penyesalan yang terkekang di dalam tubuh yang tidak dapat aku utarakan.

Aku kembali memperhatikan semua penari di ruangan. Minggu ini kami sedang melakukan latihan untuk pertunjukkan musim panas dalam lima bulan. Ada beberapa tarian yang kami bawakan satu musim ini. Untungnya sebagai seorang principal dan prima, kami dapat menggilir bagian sesuai dengan jadwal pertunjukkan agar tidak ada dari kami yang terlalu lelah.

Mataku melirik cermin dinding di hadapanku, memperhatikan proporsi tarianku sebelum memperhatikan rok tutu yang aku gunakan menyembunyikan lekuk pinggang. Aku masih selalu merasa bahwa tubuhku tidak sesempurna wanita-wanita yang lainnya. Bahu yang lebar membuatku ingin menguncup di pojok ruangan, semua orang seperti menatapku aneh setiap aku masuk ke dalam tempat latihan.

Aku mendesah pelan, kembali melirik jendela sebelum tanganku berpegang erat ke barre yang dipasang di sekeliling ruangan. Sepatu pointe yang aku gunakan sudah sedikit longgar, aku baru saja mengambil yang baru tiga hari yang lalu setelah menghabiskan dua belas jam di apartemen untuk berlatih koreografi.

Dengan perlahan aku berjinjit menggunakan sepatu, melenturkan otot-otot kakiku sambil masih memperhatikan orang-orang yang berjalan di luar gedung. Sebagian besar sudah mengenakan jas hujan atau membawa payung untuk mencegah tubuh mereka terkena air hujan deras. Sebagian masih tidak peduli, terus berlari sambil sesekali tertawa bersama temannya sebelum mereka dikejutkan dengan suara bergemuruh di telinga mereka. Aku berharap aku punya prinsip masa bodoh seperti mereka, tapi aku tidak bisa melakukannya, aku terlalu ... tidak tahu apa-apa.

"Julia Voclain, berhenti melamun! Ayo kita mulai latihannya, aku ingin lihat perkembangan koreografimu."

Suara Olga yang berdiri sambil bersandar pada tongkat kayu vernisnya membuatku patah dari dunia kecil di dalam kepala. Dengan cepat aku berjalan menjauhi cermin dan jendela yang ada di pojok ruangan sebelum berjalan ke tengah tempat latihan, melakukan posisi awal sambil menunggu ketukan irama di speaker studio untuk bersuara mengiringi tarian.

Heart Shatter [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang