38. Asap Tidur

4 1 0
                                    

   Asap tebal berwarna pink itu terus datang dan menutup gedung-gedung tua yang di lewatinya. Aku menatap Dewa yang perlahan membuka matanya, ia menatapku sejenak sebelum mulutnya terbuka memanggil namaku dan bertanya, apa yang sebenarnya terjadi. Seulas senyum terukir jelas di bibirku berkata bahwa ceritanya panjang. Sachi sudah kembali dalam wujud aslinya yaitu kucing lucu. Kucing putih bercorak cokelat dengan kalung lonceng biru tersebut berlari berputar, ekor panjangnya berdiri tegak memberitahu "sinyal bahaya".

Dewa bangkit duduk tatapan mata dinginnya mendongak ke atas melihat asap tebal berwarna pink datang.

"Benda apa itu?" tanya Dewa menatapku.

"Katanya sih asap tidur. Siapapun yang menghirupnya akan tertidur pulas itu artinya, Bima akan mengakhiri game ini." kataku menjelaskan membuat Dewa berdecih kesal, bangkit berdiri.

   Kota mati ini bisa dibilang hancur lebur penuh dengan api bergejolak, lubang-lubang di tanah akibat sambaran petir dan kini asap tidur tiba. Lebih tepatnya badai kabut tidur. Drone Mas Daniel bergerak cepat dan aku langsung mengikutinya disusul oleh Dewa serta Sachi. Langkah kaki kami bergerak cepat melewati trotoar serta genangan air akibat badai hujan deras. Tidak peduli dengan cipratan air yang mengenai seragam kami.

  Pikiranku tiba-tiba berpikir seberapa lama kami anak-anak 2-E terjebak dalam permainan konyol ini. Gak lama kemudian, kami bertiga sampai ke teman-teman lainnya dan di sana ada Jesse. Pemuda berapi itu menatap tajam ke arah asap pink tersebut berkata bahwa ini adalah ulah Rudy yang artinya Rudy sebagai "Villaint" disini. Tangan Dewa mengepal kuat.

"Kita! Harus menemukan Bima!" ucapnya tegas.

Haku menoleh ke arah Dewa, serius. "Lebih baik begitu jika tidak! Bisa bahaya. Ini hanyalah permainan ilusi sama halnya yang di buat oleh pria ilusi waktu itu." kata Haku.

"Bagaimana bisa kejadian masa lalu terulang lagi ke masa kini?" kata Zulfa nada khawatir. Yang dikatakan memang lah benar.

    Ini membuat kami semua Dejavu—aku tersenyum mencoba menghibur teman-teman yang lain. Memang kejadian seperti ini akan berulang kembali tetapi kita harus tetap berjuang, bagaimana pun caranya. Aku sama sekali tidak memiliki ide untuk menyelamatkan diri dari kabut tidur ini. Teka-teki waktu itu ada yang tertulis "Lari lah! Lari! Tetaplah Lari!" dan "Dunia ini hanyalah mimpi yang nyata" dari dua kalimat yang kami temukan adalah kunci. Bagiku itu kunci menghadapi kabut tidur.

  Aku menatap mereka semua bergantian, berkata, "bagaimana kalau kita menggunakan dua kalimat yang kita temukan waktu itu?" tanyaku membuat mereka semua menatapku dengan tatapan bermacam-macam.

   Tak peduli dengan tatapan teman-teman ku yang pasti harus mencari jalan keluar sembari menemukan Bima. Namun, ucapan Aksara waktu itu untuk tidak buru-buru bertemu dengan Bima bahwasanya itu terlalu tindakan terlalu gegabah. Dahi Dewa mengerutkan kening, tidak mengerti apa yang aku ucapkan.

"Apa maksudmu Atma?" tanyanya.

"Ada dua kalimat, Dewa yaitu: Lari lah! Lari! Tetaplah Lari dan Dunia ini hanyalah mimpi yang nyata. Bagiku kedua kalimat itu adalah kunci untuk menghadapi asap tidur ini." kataku penuh keseriusan.

"Itu sama sekali tidak masuk akal!" kata Dewa.

  Mas Daniel melihat bahwa asap tidur tersebut semakin lama semakin mendekat begitu cepat. Ia mengamati dengan dronenya. Berkata bahwa kita harus cepat-cepat pergi menghindar. Tahu, bahwa itu tidak akan berguna sama sekali.

"Tapi setidaknya kita menghindar dulu dengan lari!" kataku dan akhirnya kami semua berlari.

   Asap tidur tersebut semakin lama semakin cepat. Aku melihat dengan tampilan di drone tersebut yang menunjukkan ke layar bahwa kecepatan asap tersebut semakin lama semakin cepat. Seolah-olah asap itu mengejar kami semua.

Penggila Cinta {On Going}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang