17. Malas ke Kantin

6 2 0
                                    

   Mama melihat pergelangan tangan Mas Taiga terkejut ketika aku dan Mas Taiga baru saja, turun tangga. Wanita yang masih terlihat awet muda tersebut memandang wajah khawatir melihat salah satu putranya terluka. Pemuda berambut pirang itu terkekeh kecil lalu berbicara bahwa tidak ada yang perlu di khawatirkan, itu hanya luka kecil.

Namun, namanya juga seorang ibu, bagaimana pun kondisi salah satu anaknya yang terluka, kecil atau besar. Tetap saja beliau khawatir. Mas Taiga hanya bisa menjawab seadanya dan tidak mengatakan kalau itu luka tusukkan karena menyelamatkan ku. Jika tidak ada Mas Taiga, mungkin sekarang ini aku lagi dirawat di rumah sakit.

Bisa-bisanya orang misterius yang ternyata seorang wanita memiliki niat untuk membunuhku. Aku penasaran, niat untuk membunuhku itu apa? Kalau bagiku sendiri, ia membunuhku efek kejadian di rumah Runi.

  Aku segera duduk di kursi dan siap-siap menyantap sarapan pagi. Menu yang tidak terlalu berat. Hanya nasi goreng, ditemani roti berisikan selai strawberry dan segelas susu hangat. Menyendok sesuap nasi goreng masuk ke dalam mulutku.

Nasi goreng paling lezat adalah masakan seorang ibu, ya kan. Mama memang the best kalau urusan masak memasak. Setiap kali aku makan nasi goreng. Telingaku mendengar mama menasihati Mas Taiga untuk hati-hati dan mendengar rintihan, pemuda itu. Sebab Mas Daniel mengerjainya.

"Katanya tidak sakit. Senggol dikit lengannya udah bilang sakit! Dih!" sindir Mas Daniel, datar lalu menyunggingkan senyuman mengejek.

"Kamu tidak bisa sopan santun apa!" jawab Mas Taiga ngegas dibalas tawa Mas Daniel. Mama yang melihat kedua anaknya bertengkar perkara hal sepele, menggelengkan kepala.

  Sedangkan aku sibuk dengan makananku. Rasanya ini bisa dikatakan berganti peran sementara waktu. Aku sebagai Mas Daniel yang sibuk dengan makanan tanpa peduli apapun, seberisik apapun itu di meja makan. Yang terpenting perut sudah kenyang. Dan kini Mas Daniel berubah sebagai diriku. Karena ia selalu saja membuat Mas Taiga kesal dan cemberut jengkel.

Bertukar posisi, batinku tertawa kecil.

"Fajar? Bagaimana tugasmu di kepolisian?" tanya ayah menatap Mas Fajar meminum habis susu hangat.

"Seperti biasanya, ayah. Tidak perlu di khawatirkan. Dan sekarang, aku diberikan tugas oleh Pak Santoso mencari orang misterius yang hari lalu, membunuh targetnya." jawab Mas Fajar santai banget.

Ayah manggut-manggut setelah mendengar misi Mas Fajar setelah mengejar Organisasi Hitam Black Hawk. Ah, kenapa waktu itu terasa sangat cepat? Memberantas mafia itu! Padahal aku ingin bersenang-senang lebih lama sama mereka. Tetapi tidak apa-apa, setelah mereka tidak ada hidupku bisa dikatakan normal. Sebelum aku bertemu dengan vampir gila itu.

Diri ini bingung, harus bagaimana lagi bisa lepas dari vampir itu?—batinku ingin menjerit.

Pria paling tampan dan juga datar diantara kami semua, meletakkan serbet di atas meja makan. Muka datar itu sudah menjadi ciri khas dari Mas Daisuke. Tidak lupa, ia mengambil sesuatu dari saku jasnya yang tidak lain adalah satu bungkus permen rasa mint.

"Kasus kriminal akhir-akhir ini bisa dikatakan sedikit berbahaya daripada sebelumnya." kata Mas Daisuke.

Aku dan Mas Daniel terkejut mendengarnya lalu menoleh bersamaan melihat pria itu.

"Sebab ada beberapa anak yang memiliki kekuatan dan mereka sudah bisa dikatakan, banyak. Secara teknis, angka kelahiran anak memiliki kekuatan juga naik." lanjutnya.

Mas Taiga memegang dagu, mendongak melihat langit rumah yang dominan warna cream serta hiasan hiasan daun daun cokelat, berpikir.

"Bagaimana nasib Indonesia ketika orang-orang? Separuh memiliki kekuatan dan separuhnya lagi hanyalah manusia biasa?" tanya Mas Taiga.

Penggila Cinta {On Going}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang