37. Kain Merah

4 1 0
                                    

   Mata Dewa menjadi hitam gelap dan dingin dari biasanya. Di belakangnya sudah muncul beberapa pisau yang siap untuk menyerang kapan saja. Aku menelan ludah di bawah derasnya hujan yang tak henti-hentinya membasahi kota mati ini. Suara guntur sering bersahutan. Gejolak api membara memakan beberapa bangunan di kota sebab terkena sambaran petir. 

"Dewa! Sadar!" teriakku padanya. Namun, ia sama sekali tidak menggubris ucapanku.

  Haku bilang bahwa Dewa terkena hipnotis paling kuat, tidak seperti April saat menyerang kami. Zulfa terkejut menoleh ke arah Haku. Berharap kalau Dewa bisa sadar secepatnya sebelum yang lainnya terluka. Sachi menatap Dewa penuh amarah, bulu-bulu kucing serta ekor panjangnya menjutai ke atas.

"Meow!" ucapnya geram.

    Tanpa aba-aba Dewa langsung menyerang kami dengan cepat kami menghindari serangan tersebut. Mata Yellow Eyes ku bangkit melihat gerak-gerik serangan Dewa. Pisau-pisau tersebut terus menyerang ke arah kami. Aku segera menghindar dan melompat tinggi ke udara dan mendarat mulus tepat di samping Dewa. Haku berteriak kencang padaku dan segera untuk menyadarkan Dewa sedangkan ia dan lainnya memilih pergi untuk menyelamatkan yang lain.

Aku mengangguk mengiyakan melihat Haku dan lainnya berlari ke arah lain kecuali Sachi. Kucing putih tersebut memilih untuk bersamaku. Kini hanya aku dan Sachi yang menatap Dewa tatapan tajam. Air mataku menetes di bawah derasnya hujan yang belum kunjung reda dan malah semakin deras. Suara guntur terus terdengar keras di susul dengan suara memekik menyeramkan dari arah timur, ku rasa ada monster di sana. Pikiranku tersadar bahwa aku dan lainnya lupa dengan Asya.

'Yabaii, aku lupa dengan Asya yang masih di dalam gedung itu. Berharap ia tidak apa-apa di sana!' batinku penuh harap.

    Sorotan mata Dewa benar-benar gelap. Ia tidak seperti dirinya, pemuda yang dingin namun perhatian. Aku mengepalkan tangan kuat menatap mata yang kosong itu. Pikiran ini terus berputar mencari cara untuk menyadarkan Dewa dari hipnotis paling kuat. Sachi terus mengeluarkan suara seolah-olah ia berbicara padaku untuk "menyerang". Sejujurnya, aku tidak bisa dan tidak tega untuk menyerang Dewa. Ini seperti pengulangan waktu saat di bawah kendali Black Hawk.

  Ini membuat pikiranku berpikir mengarah ke sana. Benar, Black Hawk sudah musnah dan tidak ada. Namun, aku melupakan keroco Black Hawk yang menyebar luas dan memanfaatkan kekuatan itu untuk "kejahatan". Diri ini tidak mau isu bahwa orang yang memiliki kekuatan karena ilmiah, kembali jahat.

'Sebenarnya apa yang kau susun ini, Bima. Kau benci kekalahan atau mencoba untuk saling membenci!' batinku geram dan ingin sekali menarik kerah bajunya serta kasih pelajaran.

"Dewa! Kau bisa mendengarkan ku! Tolong jangan sakiti teman-teman mu." ucapku padanya mencoba mendekat. Aku sama sekali tidak mau melakukan serangan padanya.

    Bagaimana bisa aku menyerang Dewa? Bagaimana bisa aku menyerangnya. Ia temanku sekaligus pacarku, aku tahu, aku bodoh dan lebih memilih perasaanku daripada nyawaku. Istilah cinta itu buta dan cinta itu memabukkan, benar adanya—buta karena cinta itu membuat gelap mata. Meski pasangan mu melakukan hal keji bahkan mencabik-cabik perasaan mu. Jika bertemu dengan cinta buta, matamu benar-benar akan jadi gelap. Dan akal sehat tidak akan berfungsi dengan baik.

  Aku tidak bisa mengklaim bahwa cinta itu sepenuhnya salah. Kita adalah manusia yang memiliki perasaan serta emosi yang campur aduk. Bingung, kecewa, senang, marah dan sedih. Semuanya menjadi satu, campur aduk sehingga tidak bisa mengambil keputusan yang tepat dan akhirnya gegabah membuat terjerumus ke jurang.

"Ku mohon, sadarlah, Dewa. Kau jangan jadi boneka orang-orang tak tau diri ini!" kataku menatap mata kosong Dewa.

  Pemuda itu hanya menatap ku tanpa ada satupun kata keluar dari bibirnya. Kedua alis tebalnya menekuk ke bawah bertanda emosi amarah serta tatapan kosong penuh kebencian tertuju ke arahku. Kartu hitam muncul dari balik tangannya, kartu tersebut bergambar tumbuhan menjalar.

Penggila Cinta {On Going}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang