42. Rooftrop

5 1 0
                                    

"Tidak!"

     Teriakku saat melihat jam sudah menunjukkan angka 6 pagi. Selimut, bantal dan guling langsung ku lemparkan ke sembarangan arah, beranjak dari kasur menuju kamar mandi. Sampai di kamar mandi, aku teringat handukku ketinggalan jadi aku berbalik mengambilnya. Beberapa saat kemudian, aku sudah siap-siap dan secepat kilat memakai bedak tipis-tipis ke muka serta memakai lipglos agar bibir tidak terlihat kering. Mengambil ikat rambut di atas meja dan langsung mengikatnya asal, meraih tas yang ada di kursi belajar dan segera menuju ke lantai bawah.

  Seperti biasanya tatapan para kakakku menatap tajam padaku. Menghela nafas kasar dengan muka bersalah. Kebiasaan lamaku, tidak bisa kena ubah padahal jam tidurku sudah ku ubah tidak terlalu malam. Mama hanya bisa tersenyum menyuruhku duduk santai.

"Bagaimana sekolahmu, Atma?" tanya ayah sambil menyeduh kopi hangat menatapku dengan senyuman.

"Seperti biasanya, ayah. Tidak terlalu buruk." kataku di selah makan.

"Ohh, ayah pikir kamu bersenang-senang dengan teman-temanmu seperti bermain bareng atau hal lain?" kata ayah sekadar basa-basi.

"Kalau itu sudah setiap hari, ya." sahut Mas Daniel setelah selesai sarapan dan meminum susu hangat. Ayah hanya bisa tersenyum mendengarnya.

"Ayah pikir, kalian berdua. Daniel dan Atma dengan teman-temannya bersenang-senang melawan musuh. Seperti dulu." kata ayah. Aku dan Mas Daniel saling beradu pandang.

  Kami berdua tidak ingin membicarakan hari kemarin dimana seluruh kelas 2-E terjebak dalam kekuatan musuh. Bermain permainan paling menyebalkan bagi kami berdua. Aku tersenyum, menggeleng.

"Sekarang sudah aman kok, ya. Tidak ada yang perlu di khawatirkan." kataku tersenyum sumringah dan ayah mengangguk-anggukkan kepala mengiyakan.

   Tetapi berbeda dengan Mas Taiga yang sedari tadi memerhatikan gerak-gerik tubuhku. Matanya menyipit menatapku, aku yang juga memerhatikan tingkah lakunya, angkat bicara.

"Kenapa Mas Taiga menatapku begitu?" tanyaku padanya.

"Ku rasa, ada yang kau sembunyikan dari ayah." bisik-nya padaku. Mataku melotot mendengarnya, meng-kode mata agar ia cukup diam saja. Itu membuat seulas senyum tipis terukir di bibir merah mudanya.

"Sudah kuduga." kata Mas Taiga.

    Akhirnya kami semua berdiri untuk menjalankan aktivitas seperti biasanya. Mas Daisuke menyuruhku dan Mas Daniel segera menuju ke mobil. Tentu saja, aku segera mengiyakannya dengan perasaan ria. Mengambil tas yang ku letakkan di bawah kursi dan segera ku pakai tetapi aku merasakan tas ku terasa sangat berat.

"Mas Daniel. Tas Mas Daniel berat gak?" tanyaku padanya dibalas gelengan pelan.

"Nggak. Memangnya kenapa?" tanyanya balik.

Dahi ku berkerut samar merasakan kalau tasku terasa agak berat padahal tadi sebelum turun ke bawah. Tas ku tidak terasa berat karena pembelajaran hari ini tidak terlalu berat.

"Tasku terasa berat." kataku. Kemudian, aku mendengar suara kucing.

  Dengan segera aku melepaskan tas ku dan melihat bahwa Sachi ada di dalam tas ku selama ini. Aku tersenyum,"ternyata kau ada di sini makanya berat." kataku.

"Meow!"

"Apa Sachi pengen ke sekolah?" tanya Mas Daniel.

"Ku rasa itu benar. Sachi pengen ikut sekolah." kataku dibalas kekehan mama.

"Haha. Apa dia tidak di rumah saja." kata mama. Aku menggeleng dan memilih untuk membawanya ke sekolah.

Terdengar tidak masuk akal tetapi aku akan tetap membawanya. Mas Taiga hanya bisa diam aja karena ia tahu, bahwa Sachi bukan sembarangan kucing biasa. Aku jika teringat kejadian kemarin rasanya tidak henti-hentinya tertawa melihat wajah shock Mas Taiga. Itu terlihat sangat lucu banget.

Penggila Cinta {On Going}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang