Bab 6: PUASA HARI PERTAMA

77 4 0
                                    

"Teh, Teteh gap--"

Rama membalikan badan untuk melihat apa yang terjadi

dag dug dag dug!

"Hah ... kecoa, Rama, ada kecoaaaaa! Terbang kecoanya Ramaaaaa!"

Xaviera sudah histeris membuatnya tak bisa berkata-kata. Apalagi kini irama jantungnya tak beraturan.

Heuuuheuuuuu!

"I-iya Teh, kalau gitu biar Rama usir dulu Teh."

Barulah tangisan Xaviera itu menyadarkannya kembali dari ketidakwarasan pikirannya.

"Iya cepetan usir cepetaaaaaaan! Usir kecoanya! Heuuuheuuuu!" Xaviera masih memekik histeris.

"Nya, ini ge bade Teh. Tapi Teh--"

"Kunaon Ndan?"

Rama belum menyelesaikan ucapannya ibunya sudah keluar karena kegaduhan itu.

Kalau dibiarkan Xaviera teriak-teriak begitu, bisa-bisa warga desa akan berbondong-bondong datang. Ibu Rama tak menginginkan itu terjadi tapi kini dia dihadapkan pada keadaan yang tak ingin dilihatnya.

Meuni nemplok lengket kitu. Ieu teh serius nikahna, mereun?

Sebenarnya ibunya Rama hanya ingin melihat yang memicu kebisingan.

Tapi hatinya ikut berkomentar juga melihat Xaviera yang memang ketakutan dan tadi tanpa sadarkan diri loncat hingga kini ada di gendongan Rama dengan tangan Xaviera melingkari leher pria itu.

Kedua kakinya ada di pinggang Rama, dengan kepalanya yang menelungkup membuat matanya yang terpejam menempel di bahu Rama.

Sebuah pemandangan yang kurang menyenangkan bagi ibu Rama.

"Ada kecoa, Ambu."

"Oh nya geus, bawa teh Era ke kamarnya. Kecoa nanti Ambu urus, Ndan."

Tak mau dia memanggil Xaviera sebagai istri Rama. Rasanya belum ikhlas. Apalagi melihat keduanya masuk kamar, hati ibu Rama benar-benar tersiksa.

Tapi bisa apa dia? Ini juga keinginan putranya.

"Nuhun, Ambu." Rama tak lupa berterima kasih karena bagaimana juga dia tak mungkin mengusir kecoa dengan beban tubuh Xaviera yang tangannya juga hampir mencekik Rama?

"Teh sekarang udah di kamar. Udah aman, Teteh bisa turun."

Rama yakin, kecoa tidak akan masuk ke kamarnya yang sudah tertutup.

"Oh ya udah bagus-bagus. Ya ampun lubang itu harus ditutuplah. Aku liat kecoanya terbang, keluar dari situ tadi kayak mau nyerang kepalaku," ucap Xaviera yang masih memejamkan mati dan tangannya mengekang leher Rama masih erat juga.

"Nya, Teh. Besok ditutup lobangnya."

"Hmmm!" Xaviera lega.

"Tapi, hapunteun Teh. Teh Era masih mau terus digendong begini?"

Digendong?

Xaviera mengulang kata-kata Rama di dalam benaknya.

Saat itulah pipinya terasa begitu panas.

"Oh, ehm, sorry Rama, maaf ya."

Bingung Xaviera juga bagaimana menjelaskannya.

Dia mengutuki kebodohan dirinya sendiri di dalam hati dan kenapa juga dia bisa naik ke gendongan Rama seperti tadi? Bahkan tak mau melepaskannya. Kemana otaknya?

Xaviera kesal.

Tapi apa dia bisa memprotes dirinya sekarang?

Apa gunanya toh itu semua sudah terjadi.

WARISAN RAMADHANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang