Happy reading
Waktu menunjukkan pukul setengah delapan malam. Zweitson turun dari lantai atas dengan tangannya yang berisikan amplop coklat yang ia terima tadi.
Di ruang tengah terlihat kedua kakaknya sedang sibuk dengan kegiatan masing - masing.
Zweitson mengambil posisi di sofa single, tepat bersebrangan dengan Fenly. Tidak ada yang mengubris kedatangan Zweitson.
Ia menghela nafas sejenak untuk memulai percakapan.
"Abang, kakak" panggilnya.
Keduanya menoleh ketika mendengar panggilan itu. Dan membalas dengan deheman khasnya.
Zweitson tak langsung menyaut, lagi dan lagi ia menghela nafasnya.
"Abang, coba baca ini" ucap Zweitson sembari menyerahkan amplop coklat tadi.
Fenly segera meraihnya, dan membukanya.
Mata Fenly bergulir membaca kalimat demi kalimat. Yang terkadang mengerutkan dahinya dikala menemukan kalimat yang membuatnya bingung.
Reinna ikut bergabung bersama sang Abang, dan ikut membaca surat yang diberikan oleh sang Adek.
Sesampainya di ujung kalimat, tangan Fenly bergerak mengambil benda pipih di meja depan dia. Mengetikkan sebuah nomor untuk ia simpan.
"Abang mau dateng?" Tanya Reinna yang sudah selesai dengan kegiatan membacanya.
Fenly melihat kedua adeknya secara bergantian.
"Ga tau, nanti abang pikirin lagi. Buat kalian, jangan ada yang pernah dateng kalau belum ada perintah dari abang" ucap Fenly.
Keduanya mengangguk sebagai jawaban dari ucapan sang Abang.
"Berarti ini yang nulis suratnya, pacarnya ya?" Tanya Reinna dengan melihat kembali surat itu.
Fenly mengangguk sebagai jawaban.
"Abang pernah ketemu?"
Fenly menggeleng sebagai jawaban.
"Aku ga pernah ketemu pacarnya, tapi aku kenal sama adek pacarnya bangShan, dia temen sekelasku"
"Tadi dia juga minta ngobrol berdua, dan dia nyuruh aku dateng ke rumah sakit" jelas Zweitson.
"Kamu jawab gimana?" Tanya Reinna.
"Belum sempet aku jawab, dia udah pamit duluan" jawabnya.
"Kenapa sampai pacar sama adeknya yang turun tangan buat nyuruh kita dateng?" Tanya Fenly heran.
"Aku ga tau pasti, tapi dari setangkepnya aku dari mereka nyuruh kita dateng, ini udah jelas banget. BangShan pasti punya peran besar di keluarga mereka. Bisa aja hubungan mereka lebih lama daripada hubungan papa sama mamanya bangShan" ucap Zweitson, sembari mengambil posisi ternyamannya.
"Masuk akal" sahut Fenly.
Reinna tampak diam, "Adek pacarnya itu yang pernah jenguk kamu waktu itu bukan?" Tanya Reinna.
"Iya kak, kakak kok tau?"
"Waktu itu ketemu di depan, waktu dia mau pulang" jawab Reinna dan dibalas anggukan oleh Zweitson.
Seketika atmosfir pada ruangan itu kembali hening. Semua sibuk dengan pikirannya masing - masing.
"Napa masalah ginian kagak selesai selesai elah" gumam Fenly dengan tersirat nada pasrah.
Reinna yang mendengar itu tersenyum tipis, ia membenarkan perkataan sang Abang. Masalah yang seharusnya tidak panjang, kenapa jadi ribet seperti ini.
Lalu ia menoleh ke arah adek bungsunya, ia liat sang Adek meringkuk di atas kursi single dengan mata fokus pada handphone.
Dalam hatinya ia berulang kali mengucapkan rasa syukur. Menurutnya, dengan adanya masalah seperti ini membuat keduanya damai.
Benar - benar definisi dibalik semua masalah pasti ada hikmahnya, walaupun sekecil semut.
***
Hai hai
Apa kabar semua?
Semoga sehat selalu
Masih ada yang nunggu cerita ini kah?Gimana sama chapter ini?
Jangan lupa tinggalin jejak ya.
Vote dan komennya jangan lupa.Maaf bila typo berdebaran,
terima kasih.Mau happy end or sad end??
See you next chapter.
Salam dari yang nulis
(31 Juli 2023)
KAMU SEDANG MEMBACA
'DIA' ADIK KITA
Teen Fiction"DIA ADIK KITA!!" "ADIK LU DOANG KALI!" Benci? Tidak, itu bukan benci. Itu rasa sayangnya yang salah cara pengungkapan. "Asal lu gak dipaksa lahir di hari itu, semua gak bakal kayak gini Zwei" ucap lirih Fenly Sudah terlihat, dia menyayanginya namun...