Happy reading
Seminggu berlalu begitu cepat. Seminggu yang berjalan flat tanpa kejutan apa - apa.
Weekend pun tiba, Fajri habiskan dengan bermain game di kamar.
"Gini aja terus kehidupan gw, ga ada something spesial" gumamnya kala gamenya berakhir.
Pikiran Fajri kini melayang pada kejadian tadi malam, yang ntah kesambet apa papanya masuk ke kamarnya.
Dan tiba - tiba berkata tanpa basa - basi.
"Ji, papa mau nikah lagi"Fajri mendengus mengingat kalimat itu.
Sang Papa memang baik padanya, tapi sosoknya yang gila kerja membuat mereka sedikit ada jarak.
"Ternyata pikirannya ga hanya buat uang" gumamnya kecil.
Fajri meraih ponselnya, dan mengirimkan pesan singkat kepada sang Papa.
Anda
"Kapan hari H nya?"Setelah mengirimnya, ia bergegas ke kamar mandi guna untuk mencuci muka.
Setelah selesai bersiap, Fajri menuju rumah Fiki. Karena sebelumnya, tiga bersahabat ini telah berjanji untuk bermain. Ya cuma bertiga, karena Gilang ada acara dengan keluarganya.
•••
Kini remaja berbalut hoodie biru tengah memandang hamparan langit yang memancarkan kecerahannya..
"Sekarang papa udah ga ngirim jatah ke kita" gumamnya.
Kala raganya berdiam diri, tapi tidak dengan fikirannya. Fikiran Zweitson sedang kalut saat ini, padahal ia ada janji dengan kedua sahabatnya.
Lagi dan lagi persoalan biaya. Zweitson tah habis pikir, kenapa di dunia ini tidak ada yang lepas dari uang.
"Kalau gw kerja, abang pasti marah" gumamnya lagi.
"Coba ngobrol dulu deh" finalnya.
Akhirnya ia berdiri dan segera meninggalkan balkon. Ia berjalan menuju kamar Fenly.
Diketuklah pintu kayu itu, "Abang, Zwei boleh masuk?" Tanyanya dari luar.
Fenly yang sembari tadi bermain game di handphonenya, lantas menaruhnya.
"Masuk aja"
Mendengan perintah itu Zweitson masuk dan tak lupa menutup pintu terlebih dahulu.
Bukan langsung berbincang, keduanya kini terjebak dalam situasi sunyi.
Satu menit lamanya mereka berdiam diri tanpa berniat memulai obrolan.
"Abang"
"Hmm"
Zweitson ragu dengan topik yang ingin ia bicarakan.
"Ngomong aja, gw lagi ga mood marah - marah" ucap Fenly. Ia sadar bahwa adiknya ini sedang takut untuk memulai obrolan.
"Zwei mau bantu abang buat menuhi kebutuhan kita sehari - hari" ucapnya lirih.
Fenly berusaha memproses perkataan si Bungsu.
"Apa alasan utama lu?"
"Bang, dari beberapa waktu lalu papa udah ga ada ngirim uang sama sekali ke kita. Sedangkan kita pasti akan banyak pengeluaran, apalagi Zwei sama kakak" ucapnya, lalu ia kembali mengambil nafas.
"Zwei tau abang ga suka liat kita bantu abang dalam cari rezeki. Tapi bang, kalau misal kita mengandalkan abang aja, aku sama kakak bakal merasa beban besarnya abang"
Zweitson merubah posisi duduknya, yang semula ia menghadap lurus ke depan, kini sedikit menghadap sang Abang.
"Abang percaya sama aku kali ini aja. Aku ga mau abang berjuang sendiri buat kebutuhan kita" ucapnya sembari menatap lekat sang Abang.
"Gw masih sanggup, dek" ucap Fenly membalas.
Seketika hati Zwei menghangat. Ntahlah kapan terakhir kali Fenly memanggilnya dengan sebutan "dek".
"Iya, adek percaya kalau abang masih sanggup. Abang kasih aku kesempatan buat cari kerja ya, nanti kalau aku nemu beberapa lowongan, aku kabari abang. Abang pilih yang mana yang cocok buat aku, dan menurut abang aku sanggup lakuin itu" ucap Zwei sembari tadi menggenggam tangan sang Abang.
Genggaman itu kian mengerat yang menandakan sang Adik berusaha membujuknya.
Fenly menghela nafas, cukup membutuhkan waktu beberapa menit untuk dia bergelud dengan fikirannya sendiri.
Fenly menoleh ke arah Zweitson, "gw tunggu list lowongan kerjanya".
Senyum Zweitson seraya merekah, "Okey, nanti Zwei kirim" ucapnya antusias.
"Kalau adek boleh, berarti Rein juga boleh?" Ucap seseorang diambang pintu.
Reinna sudah cukup lama berdiri disana, hanya ingin melihat interaksi keduanya.
Batinnya seraua berteriak, "AKHIRNYA MEREKA AKUR JUGA".
Kedua laki - laki itu spontan menoleh, dan saling menatap satu sama lain.
"Mungkin nunggu list lowongan yang aku dapet dulu kak, kalau nanti abang ada yang srek dan cocok buat kita. Bisa jadi abang ngizinin, hehehe" ucap si Bungsu.
Disela - sela obrolan itu, dering telfon berbunyi.
"Astaga, adek lupa kalau ada janji sama Fiki Fajri" sentaknya.
"Yaudah sana pergi" ucap Fenly datar.
"Oh ngusir nih" ucap Zweitson dengan menggunakan nada ngeselin.
"Berangkat, apa gw lempar lu dari balkon?" Tanya Fenly dengan menatap malas sang Adik.
"Ampun ampun, hehehe"
"Yaudah Zwei berangkat, Assalamualaikum" ucap Zweitson spontan.
"Dek, ga lupa kepercayaan kan?" Balas Reinna dengan muka cengonya.
"EH"
"Kebiasaan bergaul sama anak - anak, jadi kebawa sampai sini, hehehe" balas Zweitson.
"Yaudah deh aku berangkat ya" ucap Zweitson sembari belalu keluar kamar Fenly.
"Adekmu lama - lama sengklek, Rein" gumam Fenly.
"Ngaca noh, adekmu juga kali" ucap Reinna sambil menujuk keca besar di kamar Fenly, dan ia segara meninggalkan kamar sang Abang.
***
Hai hai
Apa kabar semua?
Semoga sehat selaluGimana sama chapter ini?
Jangan lupa tinggalin jejak ya.
Vote dan komennya jangan lupa.Maaf bila typo berdebaran,
terima kasih.See you next chapter.
Salam dari yang nulis
(24 Februari 2023)
KAMU SEDANG MEMBACA
'DIA' ADIK KITA
Fiksi Remaja"DIA ADIK KITA!!" "ADIK LU DOANG KALI!" Benci? Tidak, itu bukan benci. Itu rasa sayangnya yang salah cara pengungkapan. "Asal lu gak dipaksa lahir di hari itu, semua gak bakal kayak gini Zwei" ucap lirih Fenly Sudah terlihat, dia menyayanginya namun...