Bab 7 Artur Fischer

637 100 6
                                    

Artur Fischer - Jerman||Penemu Dowel Fischer

Tak berharap apapun adalah obat dari ekspektasi yang berlebihan.

°°DC°°

"Kamu ini gimana, masa bolos assessment! Nilai kamu yang kecil itu bakal makin kecil, malu-maluin Mama aja! Mama dulu lulusan terbaik di Briniac, bahkan sering mewakili dalam ajang perlombaan nasional dan internasional. Dengan tingkah kamu yang nggak bisa jaga nama baik, sukses buat Mama malu! Seharusnya kamu bisa ikutin jejak Mama bukan malah buat masalah kayak gini!"

Suara yang berasal dari sambungan telepon itu berhasil membungkam mulut Ana. Perempuan itu hanya terdiam, melawan adalah cara terbaik untuk semakin menyulitkan hidupnya. Tidak ada pilihan selain menurut dan mengaku salah. Lagipula ibunya juga tak akan peduli apa yang terjadi pada Ana, yang ibunya pedulikan hanya nilai dan peringkat.

"Maaf, Ma."

"Kamu kira kalau kamu minta maaf nilai kamu otomatis akan bagus? Kenapa kamu ini bodoh sekali, di tes penerimaan hanya berada di peringkat ketiga dan sekarang malah bolos assessment. Sebenernya kamu ini niat sekolah nggak sih?"

Seharusnya Mama tanya, kenapa aku sampai nggak ikut assessment.

Ana bahkan tak sanggup untuk membela dirinya sendiri. Lagi-lagi yang bisa ia lakukan hanya diam, Ana bahkan tak mengerti kapan ia akan mampu menyuarakan apa yang ia rasa. Tertekan, lelah, putus asa bahkan tak memiliki semangat untuk mengejar impian. Hidup Ana bak boneka yang berjalan sesuai keinginan ibunya.

Pertanyaan beruntun yang semakin lama semakin melebar jangkauannya, merembet kemana-mana bahkan dihubungkan dengan hal yang samasekali tak ada hubungannya dengan topik utama yang sedang dibahas. Semakin lama mendengar suara bernada tinggi itu semakin mencabik perasaan Ana. Terlihat santai dalam mengejar nilai tapi berantakan di dalam, mungkin adalah penggambaran yang tepat menjelaskan posisi yang Ana rasakan.

Sibuk bermain dengan Milo sembari menyumpal telinga dengan headphone, jelas orang yang tak mengenal Ana akan berpikir bahwa perempuan itu tengah mendengarkan lagu kesukaannya. Namun, bagi yang sudah benar-benar mengenal Ana akan sangat tahu bahwa materi-materi pelajaran yang terdengar di sana.

Terlahir di keluarga yang mendewakan pendidikan, otak cerdas dan menuntut untuk setara antar keluarga dengan mengedepankan nilai-nilai akademik membuat Ana kewalahan.

Jujur saja ia sudah muak belajar. Sejak kecil bukannya dicekok buku dongeng malah disuguhkan materi pembelajaran. Bahkan, semua yang ia suka juga telah dikubur oleh ibunya diganti keharusan menyukai hal yang tak ia suka.

Ana harus menyukai ini, tidak boleh melakukan itu, bahkan sepertinya jika ibunya bisa kadar oksigen yang Ana hirup juga akan diatur kapasitasnya. Oke yang terakhir hiperbola, tapi jujur saja Ana benar-benar lelah.

"Mama nggak mau tahu ya, assessment berikutnya kamu harus bisa tebus kesalahan kamu kalau perlu jadi peringkat pertama sekalian! Kamu denger Mama kan?" tanya perempuan itu menggebu-gebu.

Andai Ana bisa, Ma.

"Iya, Ma-"

"Iya, apa?!" Terdengar bentakan sekali lagi.

Untuk saat ini ia sangat berharap diberikan hati yang sabar agar tak mengumpat dengan kata-kata kasar. Seburuk apapun tabiatnya berkata kasar kepada seorang ibu tetaplah hal yang tak akan ia lakukan.

"Iya, Ma. Ana akan usaha jadi peringkat pertama, Mama tenang aja," balas Ana menahan suaranya tetap stabil.

"Jika assessment berikutnya nilai kamu masih jelek, Mama nggak akan izinin kamu ikut kelas musik! Biola kamu juga akan Mama si-"

DIAMOND CLASSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang