Bab 19 C. Marconi

464 65 7
                                    

C. Marconi - Italia || Penemu Radio, tahun 1895

Tak ada seorangpun yang memiliki kuasa untuk menarik orang lain pada jalan benar, selama orang itu sendiri mengunci diri pada jalan yang salah.

°°DC°°

"FANYA! TUNGGUIN KARA!" pekik perempuan rambut ekor kuda yang sejak tadi diabaikan oleh temannya.

Kara mengencangkan ikat rambutnya kemudian kembali mengejar Fanya, mungkin setelah ini ia harus mengoles kakinya dengan pereda nyeri akibat berlari. Tapi, Kara samasekali tak berniat menyerah. Lagipula ia tidak akan membiarkan kekacauan ini bertahan lebih lama. 

"Bodo!" balas Fanya melewati lorong Briniac Education.

Fanya tak menyangka, ia akan melalui hari yang sangat menyebalkan. Biasanya mereka akan berjalan beriringan dan berakhir memborong makanan di minimarket yang tak jauh dari Briniac House. Sayangnya, hari ini berbeda. Bahkan sepertinya rutinitas itu tak akan terjadi lagi.

"Pulang sama temen kamar baru lo aja!" titah Fanya kesal.

Perempuan rambut ekor kuda dengan langkah cepatnya berhasil menyusul Fanya. Ia berusaha mengatur pernapasannya, Kara benar-benar tak suka berlari sangat melelahkan. Mungkin setelah ini Kara terpaksa harus menyukai olahraga agar mampu mengejar Fanya tanpa merasa akan kehabisan napas.

"Fanya masih marah?" tanya perempuan rambut ekor kuda sembari menusuk-nusuk bahu Fanya dengan telunjuknya.

Fanya memalingkan wajahnya, benarkah Kara masih bertanya? Bukankah jawabannya sangat jelas, Fanya sangat marah.

"Pikir aja sendiri," balas Fanya sewot.

Perempuan itu menekan tombol panah mengarah ke bawah pada lift kemudian menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Meski seharian ini Fanya telah mendiamkannya, sepertinya Kara samasekali tidak berniat untuk mengubah keputusannya.

Fanya juga tak ingin menyerah semudah itu, apakah ia terlihat seperti pengacau? Apakah Fanya benar-benar mengganggu dan harus disingkirkan? Fanya tak bisa berhenti memikirkan bahwa Kara berpikir ia telah menghalangi jalan Kara.

"Maafin Kara, yah?" 

Pintu lift terbuka, Fanya langsung melangkah masuk diikuti beberapa siswi di belakangnya. 

"Apa sebaiknya Kara kasitau Fanya?" pikirnya.

Hampir saja pintu tertutup, Kara cukup beruntung dapat menahan pintu lift dengan ujung sepatu putih miliknya.

"Nggak, Fanya nggak perlu tahu." Kara melangkah memasuki lift.

"Fanya harus dengerin Kara, ujian tengah semester udah dekat. Kali ini Fanya bener-bener harus belaj—"

Pintu lift kembali terbuka, jelas saja Fanya langsung melarikan diri dari ceramah panjang yang akan membuat telinganya panas.

Sebenarnya apa yang Kara pikirkan, ia berlari menjauh dan berusaha membuat Fanya mengikuti jalan anak-anak ambis yang jelas-jelas tidak Fanya suka.

"Fanyaa!" panggil Kara mengejar mantan teman sekamarnya.

Selalu saja melarikan diri jika sudah membahas masalah nilai, Kara sampai hapal dengan tingkah Fanya. Jika terus membiarkan nilainya jauh di bawah siswa lain, kemungkinan terlempar dari Diamond Class semakin terbuka lebar untuk Fanya. Kara menarik lengan Fanya membuat perempuan itu terpaksa berhenti.

"Nilai Fanya itu udah di zona bahaya, kalau misalnya nilai Re nggak dikurangi pasti Fanya nggak masuk sepuluh besar. Fanya mau sampai kapan ngerusak masa depan sendiri?" tanya Kara dengan satu tarikan napas.

DIAMOND CLASSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang