Bab 4 Alfred Nobel

908 115 13
                                    

Alfred Nobel - Swedia||Penemu Dinamit

Diam adalah bahasa yang memiliki ribuan makna, terkadang samar dan terkadang juga benar.

°°DC°°

Pukul 03.00 pagi, tanpa sedikitpun cahaya di balik tembok tinggi Briniac High School.

Setelah diantar oleh seseorang menggunakan kendaraan roda dua melalui jalan belakang yang jarang dilewati, lelaki berstatus anggota Diamond Class yang saat ini seharusnya berada di asrama dan tertidur lelap baru kembali entah dari mana.

Dia adalah Zafreno Kenandra.

Re menaiki sebatang pohon rimbun kemudian melompat melewati pagar besi menjulang tinggi dan mendarat sempurna di halaman belakang Briniac House yang sangat gelap.

Langkah ringkih itu berjalan tak bertenaga, entah apa yang terjadi pada lelaki itu yang jelas kondisinya sangat berantakan. Luka lebam dengan darah mengering di sudut bibir serta tak ketinggalan pakaian kotor dengan noda tanah.

Langkah ringkih melewati ruangan-ruangan yang minim penerangan membuat penglihatan cukup terbatas, ia sengaja memilih jalan yang jarang dilalui agar tak ketahuan penjaga yang tengah berpatroli apalagi sistem keamanan Briniac High School dilengkapi kamera CCTV yang tersebar di beberapa titik membuat Re benar-benar memperhatikan setiap langkah yang ia pijak.

Melihat kamera CCTV yang tak jauh dari lift membuat Re memutar arah menuju tangga yang memang memiliki keamanan tak begitu ketat sehingga Re hanya perlu memperkirakan jarak yang aman agar tak tertangkap kamera pengawas. Dengan kemampuan perhitungan yang cerdas tentu tak sulit bagi Re mengetahui jarak aman agar tak terdeteksi.

Ruang gelap, pengap ditambah hormon adrenalin yang berproduksi tak terkendali di tubuhnya benar-benar kombinasi yang bisa membuat Re menggila.

Setelah berhasil melewati tangga dan berakhir di lorong sejarah membuat Re semakin waspada. Untung saja pengawas tak begitu banyak di Third Floor karena area lantai ini cukup privasi atas permintaan siswa asrama.

Langkah ringkih itu akhirnya berhenti pada sebuah pintu asrama Diamond Class, perlahan Re menekan tombol kecil tepat di samping pintu hingga menghasilkan bunyi.

Jika ada pengganggu tentu akan ada yang terganggu, bukankah hukum sebab-akibat selalu begitu? Re berharap pemilik kamar segera keluar.

Pergerakan dari dalam kamar mulai terdengar disusul terbukanya pintu secara otomatis.

Perempuan dengan rambut sedikit berantakan itu mengusap wajahnya dengan kasar dan bersiap mengumpat.

"Sumpah, lo ganggu bang—"

Ana hampir saja merampungkan kalimatnya menjadi makian namun bibirnya terpaksa terkatup ketika melihat wajah lebam lelaki yang kini tersenyum membalas tatapannya. Sial—Ana tak pernah bisa membenci Re.

"Biasa," ujar Re cuek.

"Lo benar-benar stres, gue nggak nerima tamu tengah malem apalagi dalam keadaan bonyok gini!"

"Dini hari," koreksi Re serak.

Re tertawa renyah, kemudian bersandar pada dinding membiarkan perempuan itu memaki-lagi. Ana benci kondisi Re yang selalu babak-belur tapi tetap memaksakan diri untuk terlihat baik-baik saja. Ana benci itu.

"Gue udah sering ngelarang, lo masih batu aja. Giliran bonyok gini, gue juga yang ribet," keluh Ana kemudian berbalik masuk kamar untuk mengambil kotak berwarna putih di laci kedua lemari sudut kamar.

Re kembali tertawa, entah mengapa suara Ana begitu menggelikan di telinganya. Seperti sebuah obat yang tengah bereaksi pada pedihnya luka yang Re rasakan.

DIAMOND CLASSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang