Bab 22 Dmitri Mendeleev

398 59 3
                                    

Dmitri Mendeleev - Rusia || Penemu Tabel Periodik

Tunjukkanlah kelemahan dan lihat siapa yang membodohi, sembunyikan niat kemudian kejutkan musuh. Terkadang lebih baik terlihat bodoh untuk menangkap kecurangan di sekelilingmu.

°°DC°°

Wajah perempuan dengan rambut ekor kuda itu tertunduk, seperti sengaja disembunyikan dari seseorang yang ada di hadapannya.

Suasana yang biasanya ramai karena teriakan atau gurauan, kini malah terkesan canggung dan asing.

Kara tentu mengerti, Fanya masih menyimpan kekesalan padanya. Hal itu menjadi alasan mengapa ia samasekali tak memiliki keberanian untuk menatap mata Fanya.

Perempuan yang meskipun dengan pakaian santai masih terlihat sangat modis itu, mampu membuat Kara kehilangan kata-kata.

Kara menggigit bibir bawahnya, sejujurnya ia semakin takut ketika Fanya menghukumnya dengan kecanggungan. Apalagi ketika buku hitam yang ada di genggamannya itu ia arahkan pada Fanya, seolah tubuh perempuan rambut ekor kuda itu disiram air penuh dengan es beku.

Kara benar-benar telah bersusah payah mengumpulkan seribu keberanian, untuk mengembalikan buku yang sengaja ia ambil dari meja Fanya.

Terdengar suara hela napas dari perempuan yang berdiri di hadapannya. Kara semakin tertunduk. Apakah Fanya akan memarahinya? Tentu ia tahu, bahwa benda tersebut haram untuk disentuh tangan lain kecuali Fanya sendiri. Sudah dipastikan, perempuan itu pasti akan marah.

"Gue pikir lo paham kenapa buku ini hanya boleh gue yang sentuh," tutur Fanya dengan nada menyindir.

"Kara ... kara ... minta--"

"Kenapa lo harus terus-menerus minta maaf? Lo tau apa artinya 'maaf'? Artinya lagi-lagi lo berbuat salah, gue nggak suka, Kara." Fanya berbalik setelah mengambil buku miliknya secara kasar.

"Boleh Kara kasitau Fanya sesuatu?" tanya perempuan itu dengan suara berat. "Kenapa Kara pindah," sambungnya.

Mendengar ucapan Kara membuat Fanya menghentikan langkahnya. Meski jawabannya sudah jelas, rasanya Fanya ingin mendengar secara langsung kalimat tersebut keluar dari bibir Kara. 

"Karena gue bodoh?" Baiklah, Fanya sudah tidak memiliki minat untuk basa-basi.

Satu-satunya alasan paling masuk akal yang tidak perlu validasi dari siapapun, serta merupakan jawaban paling menyebalkan yang ada--selain jawaban soal Ujian Tengah Semester yang akan dilaksanakan besok. Fanya sudah tahu alasannya.

"Nggak, Fanya. Kara samasekali nggak--" Kara menghentikan ucapannya kemudian menarik lengan Fanya menuju tempat yang lebih aman.

Setelah berjalan beberapa langkah, Fanya menghentakkan tangannya memaksa agar lepas dari genggaman Kara.

"Maaf kalau yang Kara lakuin buat Fanya kesal, Kara cuma mau ... Kara ...." Perempuan rambut ekor kuda itu menggantung ucapannya, kembali menimang apakah ia harus menjelaskan atau menelan sendirian alasan kepindahannya.

"Apa?" Tanya Fanya tak sabar.

Jujur saja meski intonasi suaranya naik, Fanya tak benar-benar bisa marah terhadap Kara. Melihat wajah memerah disertai suara yang bergetar, tentu saja Fanya merasa bersalah. Tapi ia juga tak ingin Kara berpikir bahwa bertindak sendiri tanpa melibatkannya adalah sesuatu yang dapat Fanya benarkan. Setidaknya ia bisa memberi Kara sedikit pelajaran, terkadang sebuah kepedulian tidak ditunjukkan dengan senyuman.

"Kara cuma mau cari tau penyebab Kak Kalissa bunuh diri," pungkas Kara dengan mata berkaca-kaca.

Perempuan itu menghentikan kalimatnya, seolah tak mampu untuk melanjutkan sepenggal cerita yang baru berada di paragraf pertama. Kara mengembuskan napas kemudian memberanikan diri menatap mata Fanya.

DIAMOND CLASSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang