17. Part 2

26 5 2
                                    

Ina menoleh kepada sahabatnya. Nancy yang berdiri di sampingnya sedang menatap lurus ke depan, menatap bangunan kokoh berwarna coklat yang bernama Classic Time. Sudah sekian menit mereka berdua berdiam diri bergeming bagai patung di sana.

"Kamu yakin, Nancy?" tanya Ina tak lama kemudian.

Lama diam, Nancy mengangguk. "Seminggu sudah berlalu ... harusnya tidak masalah."

"Kamu benar-benar yakin?" tanyanya sekali lagi.

Sesuai ucapannya, sudah seminggu teman karibnya ini putus cinta. Ia berusaha tampak ceria dan biasa saja seolah-olah tidak ada masalah. Namun, Ina yakin kalau Nancy tetap menyimpan luka dan sakit, tak peduli seberapa pandai ia menyembunyikannya. Sudah merupakan hal yang lazim jika Nancy memutuskan untuk move on dan tidak datang lagi ke sini. Lantas, kenapa kenyataannya justru adalah yang sebaliknya?

Nancy menarik napas panjang. "Now or never, Ina."

Pintu terbuka, terdengar suara dentingan lonceng. Ina tidak sempat mencegahnya dan mereka kini sudah berada di dalam bar yang tidak begitu ramai pengunjung pada malam ini. Beberapa orang yang menyadari kehadiran mereka menoleh dengan refleks. Bukan Nancy, justru Inalah yang tampak panik dan lepas kendali akan detak jantungnya yang berpacu dahsyat.

Mampukah Ina menatap Billy seakan tidak pernah terjadi hal apapun di antara mereka?

"Selamat malam," sapa seseorang dengan ramah, membuat Ina terperanjat. "Sudah lama tidak bertemu," lanjutnya.

Ina yang sempat menyembunyikan wajahnya di balik punggung Nancy pun menengadah. Ternyata Louis sang gitarislah yang datang melayani mereka. Pria tersebut tersenyum simpul lalu bertanya, "Mau duduk di tempat biasa?"

Nancy yang berdiri lebih dekat dengan Louis mengangguk sebagai jawaban. Alhasil, mereka berdua pun dituntun untuk duduk di area counter. David yang berjaga di baliknya menyambut kehadiran mereka dengan ceria.

"Good evening, my two beautiful ladies. Lama gak berjumpa, jadi kangen aku. Apa kabar, ladies? Sehat? Kalian sudah baikan, kan?"

Di kala Ina membisu, Nancy tersenyum lebar. "Sehat. Kami juga baik-baik saja, kok. Hanya sedikit salah paham, tidak ada masalah," jawabnya ceria. Ia memandang sekitar selama beberapa detik lalu bertanya, "Kenapa hanya ada kalian berdua? Di mana Jefferson dan Billy?"

Bertepatan dengan pertanyaan Nancy, Jefferson yang baru keluar dari loker samping counter menoleh dan menyadari kehadiran dua tamu spesial ini. Ia pun tersenyum sumringah bagai harinya yang kelam akhirnya menjadi berwarna.

"Nancy! Ina! Welcome, long time no see!" serunya girang.

"Hai, Jeff. Lama tidak lihat masih tetap tampan dan mempesona, ya," gurau Nancy yang dibalas dengan Jefferson sambil menyisir rambut dengan jemarinya penuh gaya. "Oh ya, Billy di mana?"

Seketika, raut Jefferson tampak sedu. Ia menghela napas pendek. "Anak itu sedang demam. Ini lagi istirahat di dalam," jawabnya sambil menunjuk ke pintu loker.

Baik Nancy dan Ina sama-sama tertegun. "Kenapa dia tidak pulang istirahat?" tanya Nancy.

Jefferson hanya mengedikkan bahu. "Entahlah. Sudah kumohon-mohon pun dia tidak mau pulang ke rumah. Katanya cukup istirahat di sini saja sebentar, padahal sedang demam tinggi."

"Dia sudah minum obat?" tanya Ina mendadak, yang mengundang lirikan mata dari Nancy. Ina yang menyadarinya pun berdeham dengan canggung. "Aku ... aku hanya kasihan. Soalnya banyak yang datang hanya untuk mendengar permainan pianonya, jadi sayang sekali."

"Ya, begitulah." Kali ini David yang berkomentar sambil mendesah. "Walaupun menurutku sama saja, tapi banyak pelanggan yang lebih suka mendengar permainan langsung daripada putar musik. Sayangnya aku dan Jeff gak pandai main, hanya mereka berdua yang bisa."

Twisted Fate (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang