Beberapa jam sudah berlalu sejak mereka mengemas serakan kotak kado. Makan siang yang dilahap hingga kenyang telah hilang dicerna total dalam tubuh. Langit pun sudah berubah warna untuk kesekian kalinya, tapi tetap hanya ada dua sosok bocah di ruang tamu yang luas nan hening.
“Ric, jam berapa sekarang?” tanya Billy mendadak.
Ricky mendongak. “Jam lima lewat ... empat puluh menit.”
“... Sore itu sampai jam berapa?”
Baik Billy dan Ricky sama sekali tidak bersuara lagi. Sore yang disebut sebagai jam pulang mereka sudah mau berakhir, malam pun sudah siap untuk berjaga. Jadi kapan orang tua mereka akan pulang?
Kring Kriingg!
Mereka terkesiap. Di ruangan yang sunyi bagai kuburan, telepon tiba-tiba berdering memecah keheningan. Billy yang duduk tepat di sebelah langsung mengangkat telepon tersebut secepat kilat.
“Halo? Papa?”
Mengikuti Billy, kedua mata Ricky ikut membulat. Saking semangatnya, ia yang duduk di tepi pun meluncur ke samping Billy.
“Itu Papa? Mereka sudah sampaikah?” tanyanya.
Akan tetapi, Billy tidak menyahut. Ia hanya diam dan fokus mendengarkan suara papanya dari ujung telepon. Wajahnya yang sempat sumringah perlahan memudar, bergantikan ekspresi yang sangat sakit menahan air mata. Ricky kebingungan melihat perubahannya.
“Baiklah, kami mengerti,” ujar Billy singkat lalu menutup teleponnya.
“Apa kata Papa?” tanya Ricky tidak sabaran. “Mereka telatkah? Lagi di tengah jalan? Atau sedang beli kue?”
“Tidak pulang. Urusan mendadak.” Hanya itu jawaban dari Billy. Sejurus kemudian ia pun meringkuk di sudut sofa, meninggalkan Ricky yang melongo di tempat.
“Kamu baik-baik saja, Bill?” tanyanya setelah menyusul.
“Tidak baik,” jawabnya. Wajah Billy yang terbenam tadi didongakkan. Meskipun tiada air mata yang mengalir, tetapi matanya sudah mulai berair dan mulut pun cemberutan.
“Aku kesal banget. Padahal mereka sudah berjanji, tapi tetap saja ingkar dan batal lagi karena kerja. Anak dan pekerjaan, mana yang lebih penting, sih?”
“Tentu saja pekerjaan,” jawab Ricky dengan yakin. “Kalau tidak, mereka sudah berada di sini sekarang dan menyanyikan lagu ‘Happy Birthday’ untuk kedua anak kembar mereka yang ganteng ini.”
Billy tersenyum kecut. Memang tepat sekali. “Memangnya kamu tidak sedih?” tanyanya lagi memastikan. Melihat betapa semangatnya Ricky sejak pagi buta, mustahil jika tidak.
“Sedih, dong. Bohong kalau aku bilang tidak sedih dan kecewa. Bayangkan saja, sudah berapa kali mereka ingkar janji? Sungguh orang tua yang jahat, tidak berperasaan, durhaka kepada anak,” gerutu Ricky dengan sengaja, berhasil membuat Billy cekikikan pelan.
Ricky berdiri dengan mendadak. “Ya sudah kalau batal, memangnya kita peduli? Daripada sedih, mari kita ganti acara! Bentar, biar kuhubungi mereka.”
“Mereka?” Billy tampak kebingungan.
Seolah sengaja ingin merahasiakannya, Ricky tidak menjawab. Lantas ia melangkah menjauh dan meraih gagang telepon. Ia menelepon seseorang.
Sekitar 30 menit kemudian sejak telepon misterius tersebut, bel rumah mereka tiba-tiba berbunyi. Ricky menyeringai lebar lalu menarik Billy.
“Yuk, buka pintu.”
Meskipun masih penuh tanda tanya, Billy menuruti lalu mengikutinya. Begitu tiba di depan pintu, oleh suruhan Ricky, Billy pun membuka pintu lalu ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Twisted Fate (Complete)
Romance(Belum Revisi) Oleh sebuah kejadiaan naas yang tak terelak, sepasang kembar yang bernama Ricky dan Billy pun hidup terpisah. Terkadang merindu, tetapi mereka tidak bisa bertemu. Kehilangan ini membuat hidup mereka menjadi hampa. Tidak hanya begitu...