14. Part 2

28 5 0
                                    

Setelah mendapatkan penjelasan singkat tentang cara berkendara, Ricky pun mulai menjalankan motor bebek dengan perasaan was-was. Berbeda dengan biasanya yang mempunyai bawaan santai dan cuek, kali ini ia mengamati jalan dengan serius. Otak yang jarang ia gunakan pun diperas dengan kuat, berusaha untuk mengingat dan menghapal kembali setiap instruksi yang baru saja diajarkan.

Takut. Itulah yang selalu dirasakan Ricky setiap berhadapan dengan kendaraan motor. Tanpa disadari, kedua tangannya akan bergetar hebat, bahkan keringat dingin bisa saja sudah membasahi sekujur tubuhnya. Setiap melihat motor, Ricky akan mengingat kecelakaan itu, mengingat saudara kembarnya, mengingat Billy yang penuh dengan darah. Karena itu, sebisa mungkin ia menghindari dan tidak menyentuh lagi kendaraan tersebut.

Namun, beginilah sekarang. Hanya karena rasa khawatir yang entah sejak kapan timbul dalam dirinya, kini Ricky menyentuh, bahkan mengendarai transportasi mengerikan ini. Sejak kapan keberanian ini muncul? Kenapa ia bersikeras untuk mengantar pulang seorang perempuan yang jelas-jelas bukan siapa-siapanya? Memang sudah cukup kenal, tapi apa sudah bisa dibilang teman? ... Sepertinya tidak.

"Ricky," panggil Ana dengan mendadak, lumayan mengejutkan Ricky.

"A—ada apa?" tanyanya.

"Apa kamu takut bawa motor?"

Ricky bisa mendengar suara detak jantungnya yang keras. Apakah tubuhnya gemetaran terlalu kuat? "Kenapa tanya begitu?" tanyanya lagi ingin tahu.

"Itu lihat, speedometer-nya bahkan tidak sampai 20. Aku rasa berjalan kaki pun akan lebih cepat dari ini. Apa kamu benar-benar bisa bawa motor?"

Ricky mendadak kalut. "Ngawur kamu, tentu saja bisa! Aku hanya khawatir kalau aku bawa cepat kamu bisa kedinginan!" jawabnya dengan suara yang lebih keras, berusaha menutupi kegugupannya.

"Tapi tidak perlu selambat ini—eh, kok mendadak cepat?" Ana yang terkejut dengan perubahan kecepatan yang mendadak, refleks mencengkram baju Ricky. Lantas ia buru-buru melepaskannya sebelum ketahuan.

"Sudah mau hujan. Kamu pegangan, ya!" ucap Ricky dengan asal lalu melaju dengan kecepatan yang tinggi. Dengan catatan, semakin fokus dan serius memerhatikan jalan tol.

***

Siapa sangka, ucapan Ricky yang sembarang untuk menutupi kegrogiannya berubah menjadi nyata dan motor mereka tengah melaju dalam geraian air hujan. Hujan tersebut tidak deras, melainkan anginnya yang cukup kuat sehingga Ricky terpaksa untuk menambah lagi kecepatan kendaraannya untuk melawan arus. Berkali-kali Ana berteriak minta Ricky untuk menepi terlebih dahulu menunggu cuaca membaik, tapi Ricky menolak. Dilemma oleh rasa khawatir dan takut, ia memilih tetap jalan. Sehingga 20 menit kemudian, mereka tiba juga di kediaman Ana.

"Sudah sampai," ucap Ricky begitu tiba di bawah atap.

Ana turun dari motor. Kebalikan dari Ricky yang basah kuyup—karena tidak mengenakan helm maupun jaket, Ana tetap kering, mengecualikan kedua kaki yang dibalut celana jeans panjang yang basah saja. Ana merasa bersalah. "Terima kasih sudah antar. Apa kamu mau masuk—Ricky?!"

Ana terkejut. Baru saja ia hendak melepaskan jaketnya, Ricky yang masih duduk di atas motor tiba-tiba melemah dan tubuhnya terkulai ke samping. Ana buru-buru menangkapnya sebelum ia terjerembab lalu berteriak meminta pertolongan.

***

Sakit.

Darah.

Suara mesin.

Suara teriakan.

Air mata.

Sesak.

Twisted Fate (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang