15. Foto & Ciuman

36 6 1
                                    

"Aduh, telat, telat!"

Dengan bibir yang masih mengunyah makanan, Ina mengangkut dua lukisan lalu berlarian ke luar rumah menuju bagasi. Sesampai di sana, secepat kilat ia menuju ke mobil Mini Cooper merahnya yang terparkir paling sudut di antara enam mobil lainnya. Setelah mesin panas dan seluruh pintu rumah terbuka, mobil tersebut pun melaju ke jalan tol.

Tepat setelah Ina berhasil menelan makanannya, ponselnya berbunyi. Dia segera mengangkat sembari minum.

"Selamat malam, Mbak Mirina. Bagaimana dengan lukisan yang kami pesan kemarin, ya? Apa belum selesai?"

"Sudah selesai, Mbak! Saya dalam perjalanan untuk mengantarkannya!" jawab Ina dengan panik.

"Apa bisa lebih cepat, Mbak? Soalnya saya sudah sampaikan kalau kami butuhnya jam 8. Tapi ini sudah jam 9 malam dan bos saya sedang menunggu."

"Maaf, ini salah saya! Saya akan usahakan sampai dalam waktu 15 menit, eh tidak, 20 menit. Pokoknya secepat mungkin!"

Ada jeda sejenak kemudian dijawab, "Baiklah. Bos mood-nya sedang bagus sekarang. Dia bilang tidak apa-apa terlambat, asalkan lukisannya tidak rusak."

Seulas senyum lega terpapar di wajah Ina. "Terima kasih, terima kasih banyak, Mbak!"

Ketika sambungan telepon terputus, kerutan di kening Ina langsung tercipta dengan otomatis. Sepanjang perjalanan-yang beruntungnya cukup mulus, ia tidak berhenti mengutuk dan menyalahkan diri karena ketiduran dan terlambat bangun. Salahnya yang sudah tahu punya janji penting tapi masih santai dan lupa pula pasang alarm. Memang apes.

Menepati ucapannya, Ina tiba pada tujuan 20 menit kemudian. Perusahaan fashion yang ia datangi ini cukup terkenal di kota tempat tinggalnya. Gedung perusahaan ini terlihat simple, tapi terkesan elit dan elegan seperti hotel bintang lima. Bahkan, keelokannya pun tidak bisa ditutupi oleh langit yang sudah gelap sekalipun. Meskipun Ina tergolong anak orang kaya, ia segan mendatangi tempat seperti ini jikalau bukan karena lukisannya dipesan dan minta diantar secara khusus.

"Selamat malam. Boleh tunjukkan kartu identitas dan surat undangan?" tanya satpam penjaga pintu dengan sopan.

Ina menunjukkan kartunya beserta kiriman gambar surat undangan di ponselnya. Setelah mengecek sekilas, satpam tersebut mengangguk dan mengembalikan kartu. Namun sebelum membuka gerbang, ia mengecek dulu keamanan mobil Ina baru diperbolehkan untuk masuk. Lihatlah, betapa ketatnya pengawasan di sini. Ternyata tidak sembarang orang boleh memasuki gedung ini.

Setelah memarkir mobilnya, Ina berjalan memasuki gedung dengan perasaan was-was. Sebagai seorang pelukis amatir, sejauh ini Ina hanya sekadar memposting gambar hasil lukisannya di media sosial dan menjualnya. Beruntung-beruntung ada yang tertarik untuk membeli ataupun memesan. Kebanyakan pelanggannya adalah orang yang suka mengoleksi lukisan, sebagai hadiah, ataupun untuk menghias rumah. Ada juga beberapa pelanggan atas nama perusahaan-yang di mana rata-rata bosnya termasuk dalam kategori suka mengoleksi, tapi Ini kali pertamanyalah Ina mendapatkan pesanan dari perusahaan yang terkenal. Ina sungguh gugup.

"Seperti apa ya orang yang memesan lukisanku?" gumam Ina. "Apakah akan dipajang di gedung ini? Aduh, jadi deg-degan!"

Beberapa saat menunggu, pintu lift basement pun terbuka. Ina yang sempat kegirangan sendiri buru-buru berdiri tegap. Sungguh tidak ia pikirkan bahwa di dalam lift tersebut ternyata ada petugas yang menjaganya sehingga Ina berjalan masuk sambil menunduk menyembunyikan malunya.

"Selamat malam. Nona ingin pergi ke lantai berapa?" tanya penjaga dengan sopan sambil tersenyum lebar.

"Hmm, saya mau ke lobi," jawab Ina kaku.

Twisted Fate (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang