Jam 10 tepat, Ana bersama Christine tiba di ruang kelas. Di dalamnya terlihat mahasiswa-mahasiswi sudah duduk di posisi yang mereka inginkan secara acak. Dan ajaibnya, ketika Ana menampakkan diri, suasana kelas yang sempat hiruk-pikuk seketika menjadi hening. Lantas hampir seluruh pasang mata telah fokus tertuju padanya.
“Mulai lagi mereka,” bisik Christine dengan sebal setelah melihat ke dalam.
Ana tersenyum polos. “Biarkan saja.”
Ketika Ana berjalan, bola-bola mata yang setia menatapnya juga turut bergerak mengekori secara terang-terangan. Mereka penasaran, menunggu dengan jantung yang berdebar. Di antara sekian banyak tempat yang sengaja dikosongkan, ke manakah mereka akan duduk hari ini?
Tanpa mempedulikan permainan aneh yang entah sejak kapan dimulai setiap ia masuk kelas, Ana kali ini memilih meja di sudut kanan belakang. Bangku di tengah yang sering ia tempati telah dikepung oleh mayoritas mahasiswa yang menaruh hati padanya. Ketika sang primadona akhirnya duduk di bangku pilihannya, raut kekecewaan langsung tersirat dari mereka yang berjarak cukup jauh darinya.
“Kamu jahat juga, Na,” bisik Christine sembari menyeringai senang.
“Aku datang untuk belajar, tentunya aku pilih tempat duduk yang nyaman dan aman, tidak mengganggu konsentrasi,” jawabnya lugas. “Lagipula untuk apa duduk dekat-dekat denganku? Aku mahasiswi, bukan model.”
Christine hendak berbicara ketika pada waktu yang bersamaan, terdengar suara pintu yang terbuka serta hentakan high heels yang bergema memenuhi ruang kelas ini. Bu Maya, terkenal sebagai dosen killer yang sangat tegas dan ketat terhadap ketertiban, telah tiba. Niat untuk ngobrol Christine langsung terurung.
Tanpa mengulur waktu, Bu Maya pun memulai pembahasan hari ini.
Ruangan kelas menjadi sangat sunyi. Selain suara Bu Maya yang mengajar, tiada mahasiswa yang berani bersuara sama sekali, apalagi bergerak untuk menukar tempat duduk—tujuan mendekati sang primadona. Diam-diam Ana tersenyum pulas. Memilih untuk masuk kelas tepat waktu adalah keputusan yang benar.
Hari ini akan menjadi hari yang menenangkan, batin Ana riang gembira.
Bamm!!
Hampir semua orang tersentak. Pada suasana yang begitu diam dan tegang, pintu yang tak bersalah tiba-tiba didobrak dengan kuat. Tiba seorang pria yang terengah-engah lalu tersenyum lebar kepada Ibu Dosen.
“Saya ... tidak telat kan, Bu?”
Dengan sebelah alis terangkat, Bu maya melirik arlojinya. “Jam 10.14,” tuturnya. “Kamu beruntung, Ricky.”
Pria yang bernama Ricky itu tersenyum makin cemerlang. “Oh, syukurlah. Kalau tidak, saya harus mengulang lagi tahun depan,” ucapnya sambil menyeka keringat dari dahi.
“Sana duduk,” titah Bu Maya tegas, lantas membetulkan kacamatanya dan kembali fokus pada layar proyektor. “Baiklah, kita lanjutkan kembali.”
Masih menjadi sorotan umum, pria yang datang terlambat itu mulai mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kelas. Sampai matanya tidak sengaja bertatapan dengan Ana yang ternyata juga memperhatikannya, Ricky mulai beranjak.
Dengan langkah yang mantap dan percaya diri, Ricky berjalan ke arah Ana. Tanpa mempedulikan tatapan mahasiswa lain yang tajam bagai belati, Ricky masih tetap melangkah dengan wajah tak berdosa. Sekejap kemudian, ia telah sampai di sisi Ana, melewatinya, dan duduk persis di belakang gadis cantik, meja paling ujung kanan belakang.
Tiada mampu bertahan, Christine langsung mencondongkan kepalanya mendekati Ana. “Sepertinya ada yang mau pedekate lagi, nih!”
“Hush! Fokus, lihat depan!” bisik Ana sedikit mengancam, membuat sahabatnya segera duduk tegap meski masih cekikikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Twisted Fate (Complete)
Romance(Belum Revisi) Oleh sebuah kejadiaan naas yang tak terelak, sepasang kembar yang bernama Ricky dan Billy pun hidup terpisah. Terkadang merindu, tetapi mereka tidak bisa bertemu. Kehilangan ini membuat hidup mereka menjadi hampa. Tidak hanya begitu...