Pusing.
"Ini pesanannya. Silakan menikmati," ucap Billy setelah meletakkan minuman pesanan pelanggan di atas meja.
"Terima kasih," sahut salah seorang pelanggan wanita dalam kelompok sambil tersenyum lebar. Ia kemudian melingkari lengan Billy. "Temani kami, Billy. Kami sudah langganan tetap tapi kenapa kami tidak pernah melihatmu tersenyum?"
Kedua mata Billy di balik kacamata serasa terhuyung, tapi diabaikannya seraya melepaskan tangan wanita itu. "Maaf, saya sedang kerja," tolaknya.
Tak ingin menyerah, wanita tersebut kembali melingkari lengan Billy, bahkan kali ini menariknya. Temannya yang lain hanya cekikikan. "Ayolah, jangan malu-malu—"
"Berhenti menggangguku!"
Billy tiba-tiba berteriak keras. Sehingga tidak hanya sekelompok wanita di hadapannya, orang yang duduk di sekitar termasuk teman kerja serentak terkejut dan menoleh.
"Apa-apaan sih, kok galak begitu? Kami ini pelanggan!"
Pada waktu yang bersamaan, David yang berdiri paling dekat segera menghampiri. "Ada masalah apa, Bil?" tanyanya.
Namun, belum sempat Billy menjawabnya, sekelompok wanita itu berdiri, melemparkan beberapa lembar ratus ribuan di meja, lalu dengan angkuh dan marah berjalan keluar dari bar. David buru-buru membungkuk meminta maaf, sedangkan Billy hanya berdiri diam sambil memejamkan mata, kemudian tiba-tiba beranjak cepat ke ruang loker.
Billy menubrukkan kepalanya lumayan keras pada pintu lemari loker. Ia bisa merasakan denyutan di kepalanya sedikit berkurang karena benturan barusan, akan tetapi rasa sakit itu kembali menyerangnya, bahkan lebih dahsyat. Setelah membuang napas panjang, ia membuka lokernya, mengambil botol minuman besar, lalu meneguknya dengan kasar. Bertepatan saat itu, ponsel di dalam sakunya bergetar hebat. Ada telepon masuk. Billy mengangkatnya.
"Di mana kamu sekarang, Billy?"
Billy terdiam sejenak. "Aku ada di bar, Ma."
"Kamu pergi kerja? Bukannya kamu demam, Nak?"
Refleks Billy mengangkat jemari dan menempeli jidatnya. Sangat panas. "Kenapa ... Mama tahu?" tanyanya sambil mengerutkan kening. Apa jangan-jangan .... "Ricky sakit juga?"
Sunyi beberapa detik. "Iya. Ricky sedang demam tinggi, jadi Mama rasa kamu pasti demam juga. Apa kamu sudah minum obat?"
Billy kembali menghela napas. Padahal dia sangat jarang sakit. Tapi kenapa setiap dia sakit atau tidak enak badan, Ricky pasti juga ikut serta? Apakah setiap anak kembar akan mengalami hal yang serupa seperti ini? "Belum," jawabnya.
"Kenapa belum? Kamu harus cepat minum obat, Sayang. Mama khawatir."
"Iya. Aku akan minum nanti, Ma."
Terdengar suara helaan napas panjang. "Sudah lama kita tidak bertemu dan bercakap seperti ini. Apa kamu boleh izin sakit dari tempat kerjamu, lalu pulang rumah istirahat? Mama rindu padamu, Nak."
Kali ini giliran Billy yang terdiam, dan cukup lama sampai mamanya memanggil. Ia yang sempat bersandar lemas pun berdiri dan berkata, "Mama tidak perlu khawatir. Aku akan jaga diriku baik-baik. Aku akan istirahat sebentar lalu kembali kerja. Dah, Ma."
Sayup-sayup terdengar suara mamanya memanggil, tapi Billy menarik ponselnya menjauh dari telinga kemudian menutupnya. Helaan napas panjang kembali tercipta, disertai dengan rasa sakit yang sekali lagi menyerang kepalanya.
"Di sini kamu rupanya."
Billy menoleh, terlihat Jefferson masuk ke dalam ruangan loker berukuran tiga meter persegi ini dan menghampirinya. "David datang mencariku lalu bilang kamu berulah. Ada apa?"
Billy membuang muka. "Aku tidak apa-apa. Hanya ... sedikit tak enak badan."
"Kenapa? Kamu sakit, ya? Wajahmu terlihat pucat hari ini. Apa mau pulang saja?"
Billy menggeleng pelan. "Aku cukup istirahat sebentar saja."
"Baiklah, kamu istirahat dulu. Kalau sudah baikan nanti ke panggung ya, Louis panggil suruh latihan," ujar Jefferson yang dijawab Billy dengan anggukan. Ia kemudian menepuk pundak Billy dua kali lalu beranjak keluar. Billy lantas beralih ke stool panjang di sudut ruangan dan mencoba untuk tidur.
***
Tepat 20 menit kemudian, Billy bangun dari rebahannya. Kepalanya masih berdenyut, tapi rasa sakit sudah berkurang banyak. Napas sudah tidak seberat awal. Setelah meminum lagi seteguk air, ia berjalan keluar dari loker, bersiap untuk kembali kerja.
"Sudah bangun, Bill? Bagaimana, agak mendingan?" tanya Jefferson begitu melihatnya berjalan mendekat. Ia meneliti wajah Billy sesaat dan sejurus kemudian menyentuh keningnya. Lantas ia terkejut. "Wei, panas ini. Kamu demam, Bil!"
Billy menepis tangan bosnya menjauh. "Tidak, aku tidak apa-apa. Aku sudah merasa jauh lebih baik. Mungkin bentar lagi panasnya akan turun sendiri."
"Tidak secepat itu juga kali. Komputer saja kalau tiba-tiba error, kita harus meng-restart-nya dan itu juga butuh waktu."
"Restart komputer gak sampai semenit. Aku sudah istirahat 20 menit, jadi itu sudah lebih dari cukup," bantah Billy yang anehnya masih pantang mundur, sampai Jefferson refleks mengerutkan keningnya. Kenapa anak ini yang biasanya mageran, giliran disuruh pulang untuk istirahat malah justru menolak?
"Apa ada masalah di rumah jadi kamu tidak mau pulang?"
Billy membisu sejenak lalu menggeleng. "Tidak ada masalah. Rumahku aman-aman saja."
Jefferson menghela napas panjang. Billy akan selalu menjadi Billy, seorang pria yang paling sulit diajak berkomunikasi jikalau membicarakan hal pribadinya. Daripada dipaksakan dan pada ujungnya tetap tidak mendapat jawaban, lebih baik pasrah saja.
"Baiklah, kalau itu maumu. Kamu boleh kembali bekerja," ucap sang bos. "Tapi ingat, jangan paksakan diri. Kalau memang beneran sakit, kamu istirahat lagi di loker. Mengerti?"
Kali ini Billy mengangguk. "Baik, Pak Bos," jawabnya singkat kemudian berjalan pergi, yang dibalas oleh Jefferson sebuah gelengan pelan kemudian lanjut membersihkan meja counter yang sempat tertunda.
Billy yang sejujurnya merasa pusing—akibat percekcokan barusan—pun melangkah dengan pelan, kemudian berusaha berdiri dengan tegap di depan pintu masuk. Sesuai dengan gedung bar ini, pintu di hadapannya ini berbahan kayu dengan cat yang mengkilap. Tepat di bagian tengah terdiri dari dua barisan kotak kaca yang memantulkan wajah Billy.
Billy menyentuh salah satu permukaan kaca. Walau gelap dan kurang jelas, ia tetap bisa melihat wajahnya yang kini tampak begitu pucat dan kantong mata yang muncul mendadak. Kacamata yang dipakainya pun tidak bisa menyembunyikan penampilannya yang kurang sehat ini.
Apakah Ricky juga berpenampilan seperti ini sekarang?
Kepala Billy tiba-tiba merasa berat. Anehnya entah kenapa, setiap dirinya memikirkan sosok Ricky, kepalanya berdenyut sangat kuat. Memori buruk 10 tahun lalu yang ingin ia kubur dalam-dalam pun turut bermunculan lagi dan berputar dengan sendirinya.
Di dalam lubuk hatinya, Billy sebenarnya tidak menyalahkan Ricky. Pada saat itu mereka berdua hanyalah dua bocah yang serba penasaran dengan dunia. Kecelakaan juga merupakan hal yang tidak langka, yang bisa terjadi pada siapa saja. Tapi semenjak ia sadar pertama kalinya di rumah sakit setelah kecelakaan dan tidak melihat Ricky terbaring di samping, kenapa ia merasa lega? Atau justru merasa takut? Apa sebenarnya yang membuat dirinya tidak sanggup lagi bertemu dengan saudara kembarnya? Tanpa sadar Billy mencibir.
"Semoga kamu juga lekas sembuh."
***
TBC ke part 2 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Twisted Fate (Complete)
Storie d'amore(Belum Revisi) Oleh sebuah kejadiaan naas yang tak terelak, sepasang kembar yang bernama Ricky dan Billy pun hidup terpisah. Terkadang merindu, tetapi mereka tidak bisa bertemu. Kehilangan ini membuat hidup mereka menjadi hampa. Tidak hanya begitu...