“Ana, kamu sedang apa?”
Ana terkesiap. Ia yang tengah memotong sayur hampir saja mengenai jarinya kalau terlambat menghindar. Ia menoleh lalu menghela napas panjang.
“Mama, kagetin saja,” ujarnya sambil mengelus dada. “Kok Mama keluar? Ini Ana lagi buatkan sarapan untuk Mama makan di dalam.”
“Makannya di sini saja,” jawab mamanya sambil tersenyum lalu berjalan meraih kursi meja makan. Ana segera menuntunnya dengan hati-hati.
“Yakin mau makan di sini, tak mau di dalam saja? Mama masih pucat, lho. Nanti pingsan lagi bagaimana?” tanyanya khawatir. Ana masih ingat betapa terkejutnya dia hari itu waktu mengetahui mamanya pingsan saat bekerja dan dibawa ke rumah sakit. Untunglah beliau hanya dinyatakan kelelahan, lalu dipulangkan setelah diinfus vitamin.
Mamanya tertawa. “Mama sudah baikan, kok. Suntuk di kamar terus.”
“Ya sudah, ini sarapannya, Ma. Ana buatkan bubur ikan kesukaan Mama. Makannya yang pelan, ya, masih panas. Oh, ya, ini obatnya.” Ana meletakkan semangkok bubur di hadapan mamanya beserta sekantong obat kapsul beraneka macam.
Sesuai resep dokter, mamanya menelan dulu obat kapsul baru mulai memakan sarapannya. Di kala itu, Ana juga sekalian mengambil lagi semangkok bubur untuk dirinya makan bersama.
“Bagaimana kuliahnya? Aman? Ada yang ganggu kamu, tidak?” Mamanya berbasa-basi.
“Aman kok, Ma. Tenang saja, anakmu ini kuat, tidak akan ada yang berani ganggu,” jawabnya. Sejauh ini selain didekati untuk pedekate, Ana tidak diganggu secara terang-terangan. Ia masih sanggup menghadapinya.
“Maafkan Mama, ya, Sayang. Mama ... tidak bisa memberikan kehidupan yang lebih baik untukmu.”
Mulai lagi.
Setiap mamanya sedang banyak pikiran atau keletihan seperti sekarang, ia akan mulai meminta maaf, meratapi nasib dan kehidupan mereka yang serba terbatas ini dengan wajah yang menyedihkan. Jujur saja Ana sudah bosan mendengar keluhannya berulang kali, tetapi ia tetap tersenyum dan menghibur wanita malang bernama Winda ini.
“Kehidupan kita sudah baik, kok, Ma. Coba lihat, kita punya tempat tinggal, bisa makan sampai kenyang setiap hari, dan Ana juga bisa kuliah. Ini sudah lebih dari cukup, tidak perlu mewah-mewah.”
“Tapi karena Mama tidak becus cari uang, kamu jadi harus bekerja juga sampai larut malam, padahal tugas kuliahmu banyak. Kamu pasti capek, kan, Sayang?”
Ana menyadari bahwa kedua mata Winda sudah tergenang. Mamanya yang berhati lemah lembut ini memang sangat mudah menangis. Ana menghapus air mata wanita di hadapannya.
“Pekerjaan Ana tidak berat, kok, hanya part time biasa, itupun tidak setiap hari. Mama tidak perlu khawatir. Semuanya akan baik-baik saja.”
Winda mendesah panjang. “Andai saja papamu masih bersama dengan k—”
“Jangan ungkit-ungkit soal dia, Ma. Papa Ana sudah tiada!” Berbeda dengan tadinya yang lemah lembut, suara Ana mendadak meninggi.
“Tapi dia masih—”
“Mama!!”
Tidak hanya berteriak, Ana kini berdiri dan menggebrak meja, semata-mata hanya untuk mencegah mamanya berbicara lagi. Demi apapun, Ana tidak ingin membahas tentang orang itu.
Winda yang menyadari kesalahan yang dibuatnya pun bungkam. Tak ingin suasana canggung ini berlanjut, ia segera mengubah topik. “Ngomong-ngomong Sayang sudah punya pacar, belum? Gebetan, atau laki-laki yang dekatin? Kamu tidak pernah cerita ke Mama.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Twisted Fate (Complete)
Romance(Belum Revisi) Oleh sebuah kejadiaan naas yang tak terelak, sepasang kembar yang bernama Ricky dan Billy pun hidup terpisah. Terkadang merindu, tetapi mereka tidak bisa bertemu. Kehilangan ini membuat hidup mereka menjadi hampa. Tidak hanya begitu...