11. Permintaan Maaf

37 6 3
                                    

Ding.

Lagi. Sudah keempat belas kali. Mata Billy yang terpejam kembali bertekuk dalam. Di malam yang sepi dengan pikiran dan hati yang kacau, permainan pianonya pun penuh dengan kekacauan. Tempo dan irama yang tidak menyatu, penempatan jari yang keliru, pedal diinjak tidak pada nada semestinya, dan ... apalagi kesalahan yang tidak mungkin namun tetap bisa dilakukan olehnya?

“Permainan yang kacau sekali.”

Dang.

Mengakhiri lagu dengan kunci yang salah, Billy membuka matanya lalu menoleh ke asal suara penginterupsi. “Louis,” panggilnya dengan datar. “Tumben duluan. Mana David?”

Louis mengedikkan bahu. “Masalah pacar. Sepertinya dia ketahuan selingkuh dan sedang membujuk pacar kayanya untuk tidak putus. Aku tidak tahu dia bakalan masuk apa tidak.”

Billy tersenyum kecut, sama sekali tidak tercengang mendengarnya. Setelah menyandang status “Bartender Playboy Tampan”, David selalu terlihat mengencani perempuan yang berbeda hampir setiap hari dan membuat masalah hampir setiap pekan. Untunglah sampai saat ini tidak ada satupun pacarnya yang membuat onar di sini, atau masalah akan tambah rumit.

“Biarkan saja anak itu, kurang kasih sayang dia.” Louis meraih gitar dan mulai menyetel nada di samping Billy. “Apa kamu lagi ada masalah?” lanjutnya mengubah topik.

Billy menekan beberapa nada dasar memandu setelannya. “Boleh dikatakan begitu.”

“Biar kutebak, tentang si Gadis Kopi itu?”

Alih-alih menjawab, Billy justru terdiam lalu melengos jauh. Louis pun tersenyum simpul lalu merangkul bahu Billy.

“Kamu kira sudah berapa lama kita saling kenal, Bil? Wajah datarmu itu punya 1001 ekspresi yang hanya kami pahami. Well, you have a lot of secrets, I knew. Tapi untuk yang satu ini tidak masalah kalau cerita, kan?”

Billy lagi-lagi tersenyum kecut. Apa rahasianya memang sudah terlalu banyak seperti yang mereka katakan? Miris. “Bukan masalah yang besar, sih ... Aku hanya tidak menepati janji.”

“Oh? Jadi tidak hanya dengan kami saja, ya, kamu ingkar janji ternyata. Apakah ini berhubungan dengan permintaannya untuk merayakan ulang tahun temannya?”

Billy mengangguk. “Seperti yang kamu ketahui, aku datang terlambat dan ... selebihnya kamu sudah saksikan sendiri.”

Louis manggut-manggut. “Jadi sekarang kamu merasa bersalah? Mau minta maaf?”

“Aku sudah minta maaf, tapi ... dia menolak.”

Setiap mengingat kejadian hari itu, mengingat bagaimana gadis itu menahan amarah dan tangisannya, hati Billy serasa disayat belati. Rasa bersalah kian hari kian bertambah. Sesak.

“Mungkin maafmu kurang tulus? Umumnya, perempuan itu suka yang dramatis. Bagaimana kalau kamu tiru adegan yang ada di drama-drama itu? Bisa saja ampuh.”

“... Apa tidak berlebihan?” tolaknya. Mengingat kembali, hubungan Billy dan Ina tidak pernah dekat, hanya sebatas pelayan dan pelanggan. Sangat aneh kalau ia melakukan hal-hal selayaknya pasangan.

Memikirkannya sekilas, tawa Louis pun lepas.

“Benar juga. Aneh banget melihatmu yang pendiam begini melakukan hal-hal yang romantis,” ledeknya. “Sudahlah. Lupakan saja. Pasalnya kalian memang tidak dekat, jadi tidak usah terlalu dipikirkan. Anggap saja kita hanya kehilangan pelanggan, ok? Mari kita kerja.”

Usai berkata, Louis bangkit dari tempatnya lalu berjalan menuruni panggung, mendekati Jefferson yang baru saja tiba di bar. Duduk termenung sejenak, Billy pun membuang napas lalu turut bergabung juga.

Twisted Fate (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang