8. Part Time

46 9 8
                                    

Ricky membuka kedua matanya lebar. Hal pertama yang ia lihat tak lain tak bukan adalah lelangitan kamarnya, tepatnya di atas kasur. Lantas ia melirik ke nakas samping tempat jam beker digitalnya diletakkan, tepat jam enam pagi.

Hari ini adalah hari Minggu. Pada hari biasa saja malas untuk bangun pagi, apalagi hari suci yang didedikasikan untuk bermalasan seharian? Berhubung Ricky juga masih ngantuk berat, jadi jangan harap dapat memisahkannya dengan kasur tercinta. Tetapi sayangnya, kebahagiaan sederhana ala Ricky tidak berjalan seperti yang diharapkan.

I found a love for me, Darling just dive right in and follow my lead ....

Lagunya Ed Sheeran “Perfect” tiba-tiba beralun keras. Ternyata itu adalah lagu nada dering ponsel Ricky yang tergeletak di nakas. Merasa terganggu, Ricky pun mengintip dari balik selimut ke arah jam beker, pukul delapan pagi.

“Gila.”

Tanpa ada niat untuk menggubris panggilan entah dari siapa pagi buta begini, Ricky menarik selimut dan membenamkan diri, balik ke alam mimpi. Karena diabaikan, ponsel tersebut pun akhirnya mati, kamar kembali sunyi. Namun tak sampai semenit, lagu yang sama kembali berputar memecah keheningan. Lagi, dan lagi. Sampai akhirnya karena tidak bisa menahannya, pada bunyi kelima kalinya Ricky pun terpaksa bangun dan mengangkat panggilan tersebut.

“Hei, Ric, akhirnya dengar juga. Langsung saja, kamu sibuk gak hari ini?”

“Apa? Siapa kamu?!” erang Ricky masih setia menempelkan kepalanya di bantal.

“Ini aku, Kevin. Memangnya kamu tidak save nomorku, ya?”

Sambil mengernyit Ricky melihat layar ponselnya, tertulis nama “Kevin Banci” sebagai penelepon. Ia menempelkan kembali ponsel ke telinga.

“Ada apa asdos cari aku di hari Minggu? Mau hukum aku tidak kerjakan tugas?”

Terdengar suara kekehan Kevin. “Biasa, mau minta bantu seperti dulu,” ucapnya. “Eh tunggu, kamu tidak kerjakan tugas? Tugas mana satu, hah?”

Ricky mengabaikannya. “Mau bantu apa? Kali ini pamanmu atau tantemu?”

“Tante, yang kelima. Dia ada buka cafe. Hari ini ada yang bikin acara di seberang cafenya. Tante prediksi hari ini bakalan ramai, tapi dia sedang kekurangan karyawan.”

Ricky terdiam sesaat. Tante kelima ... seberapa besar keluarga Kevin sebenarnya? Ia ingat saat dulu masih seangkatan, Ricky dkk sering diminta tolong untuk membantu bisnis keluarga Kevin sebagai helper, asisten, karyawan, dan lain-lain sebagainya. Kevin yang bisa menjadi asdos pun karena sang dosen adalah pamannya. Ricky jadi sedikit menyesal telah menyapanya tempo hari, menjalin kembali hubungan pertemanan mereka yang sempat renggang.

“Jadi mau bantu apa?”

“Jadi waiter. Sesuai permintaanmu dulu, setengah hari saja, kok, sampai sore. Part time pokoknya. Bagaimana? Bisa?”

“Aku seorang saja? Yang lain? Kamu sendiri tidak bantu? Itu tantemu, lho, durhaka banget.”

Kevin menghela napas. “Aku sudah hubungi semua, tapi kebanyakan gak bisa dan sudah tidak aktif nomornya. Kalau aku sendiri harus ikut seminar bareng pamanku. So ... only you, alone. Please.”

Sudah ia duga. Ricky menyesal lagi memutuskan mengangkat telepon ini.

“Baiklah, aku akan bantu,” jawab Ricky pasrah. “Tapi apa yang akan aku dapatkan setelah itu?”

“Hmm ... gaji?” Kevin membisu sekejap. “Apa kamu mau meminta sesuatu dariku?”

“Ternyata pintar.” Ricky menyeringai. “Gampang. Berikan aku nilai A untuk semester ini.”

“Ricky, that’s totally imposs—”

“Ok, aku tolak. Bye,” sela Ricky cepat lalu menutup teleponnya. Beberapa detik kemudian, ponselnya berbunyi kembali.

“Ok, ok, kamu menang. Mau nilai A atau A plus aku kasih semua, tapi kamu harus pergi bantu, dengar? Kalau tidak, F yang aku kasih!”

Ricky terbahak. Belum berubah, ternyata masih mudah untuk memeras Kevin. “Aman, Bos. Jadi kapan dan di mana cafenya?”

“Masuk kerjanya jam sepuluh. Biasanya sekitar 15-20 menit untuk persiapan dan bersih-bersih baru cafe dibuka. Kerjanya sampai jam empat sore. Lalu nama cafenya adalah ‘A Cup of Coffee.’ Jangan telat, ya. Tante aku orangnya lumayan galak.”

“Ok, tenang saja, aku tidak akan telat. Aku mau mandi dulu. Bye,” ucap Ricky, kali ini beneran menutup teleponnya. Tidak ingin mengulur waktu, ia pun bangkit dari kasur lalu mengambil bajunya dari lemari. Kalau mau bantu kerja di cafe, Ricky harus mengenakan pakaian yang rapi, seperti kemeja putih dan celana hitam ....

“Tunggu. Cafe A Cup of Coffee ... itu nama cafe yang aku pergi blind date kemarin, kan?”

***

Dengan motor yang sudah selesai diperbaiki, Ana berangkat bekerja dengan penuh semangat hari ini. Ia berkendara dengan kecepatan normal, berharap bisa tiba dengan aman tanpa masalah. Sayang, rencananya kali ini tidak lagi sesuai harapan. Karena begitu motornya memasuki kawasan jantung kota, kendaraan mulai padat dan macet, begitupun dengan pejalan kaki yang sembarangan nyelonong tidak kenal aturan.

Bersusah payah menghindari bahaya, Ana tiba juga di tujuan, dua puluh menit lebih lambat dari rencana. Untunglah kali ini ia berangkat lebih awal satu jam, antisipasi terhambat suatu masalah, seperti hari ini.

“Kak, ada apa di depan? Kok ramai?” tanya Ana langsung ketika ia sudah berhasil masuk ke dalam cafe tempat kerjanya dan berpapasan dengan rekan kerja.

“Dengar-dengar katanya ada Road Show, tapi aku tidak jelas itu dari acara apa,” jawabnya lalu menepuk pundak Ana. “Feeling-ku bakalan ramai hari ini. Semangat, ya, yang kuat.”

Ana tersenyum. “Siap!” Ia suka menerima tantangan.

Beberapa menit menunggu, satu persatu anggota kerja sudah hadir. Seperti biasa, mereka akan berbaris rapi, menunggu pengarahan dari Bos yang juga sudah berdiri menunggu di hadapan semua.

“Hari ini adalah hari Minggu. Tepat di depan kita juga akan diadakan road show, yang pastinya dapat diperkirakan cafe kita akan ikutan ramai oleh pengunjung. Jadi untuk menambah tenaga kerja kita hari ini, Ibu carikan helper pekerja part time untuk membantu. Langsung saja Ibu kenalkan ....”

Seolah mendengar aba-aba, seorang pria berperawakan tinggi berjalan keluar dari belakang, lalu berdiri di samping Bos alias tantenya Kevin.

“Sama seperti kalian kebanyakan, dia adalah mahasiswa juga. Meskipun baru pertama kali di sini, tapi dia sudah sering bantu-bantu di restoran milik famili Ibu, jadi kemampuannya tidak perlu diragukan lagi. Namanya adalah Ricky Ricardo.”

Ricky tersenyum ramah. “Salam kenal, semuanya. Mohon bimbingan untuk ke depannya, Teman-Teman.”

Serentak dengan bungkukan hormat dari Ricky, pekerja lain menyambutnya dengan tepuk tangan formalitas. Beberapa dari mereka—terutama gadis muda—tampak terkesima dengan wajah Ricky, beberapa yang lainnya tidak menunjukkan ekspresi apapun. Dan lain dari yang lain, ada satu-satunya orang yang berdiri di barisan tengah bereaksi berbeda; membelalak dan syok berat.

Pria gila tak tahu diri yang telah mencium Ana kemarin .... Kenapa dia ada di sini?!

***

TBC ke part 2 😘

Twisted Fate (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang